Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring memang kerap bikin heboh. Dengan hampir 200 ribu pengikut di Twitter, pemilik akun @tifsembiring itu tak henti-hentinya jadi 'primadona' pengguna Twitter di Indonesia.
Selasa (1/3), dia kembali membuat ramai. Gara-garanya adalah sebuah twit: "PSSI itu bukang perusahaang. Kalau sedang diterangkang, coba dengarkang, penting itu pengalamang. Mengerti kang?"
Kalimat itu ia publikasikan saat Ketua Umum PSSI Nurdin Halid sedang menghadap para wakil rakyat yang terhormat di kompleks Senayan, dalam rangka rapat dengar pendapat. Twit itu menirukan (secara agak berlebihan) gaya bicara orang-orang dari kampung halaman Nurdin, yaitu Makassar (dan sekitarnya).
Rupanya tak semua orang menganggap twit dari Tifatul itu lucu. Ia menuai protes. Pak Menteri pun menghapus twit itu, lalu meminta maaf pada para pengikutnya. "Maaf jika ada yang tersinggung dengan twit berkait okkots sebelumnya. Sama sekali tidak ada maksud menghina. Sama seperti jika dialek lain ditirukan," kata Tifatul.
Hmmm, okkots? Apa itu okkots?
Okkots adalah istilah yang populer di Makassar, dan juga di Sulawesi Selatan pada umumnya. Okkots merujuk pada kebiasaan pelafalan yang terbiasa dengan bahasa lokal, yang lalu terbawa-bawa saat si pengguna mengucapkan kata-kata dalam bahasa Indonesia.
Umumnya, okkots terjadi pada fonem-fonem nasal seperti 'n', 'm', dan 'ng'. Pengucapan konsonan-konsonan tersebut jadi tertukar-tukar. Yang berakhiran 'n' jadi 'ng', seperti contoh yang diberikan Tifatul. Di luar contoh itu, okkots juga kerap terjadi saat konsonan 'n' bertemu konsonan seperti 'b' atau 'p'.
Cipu Suaib di situsnya okkots.com, yang banyak membahas soal okkots, bahkan mengaitkan kebiasaan okkots dengan tajwid, alias tata cara pembacaan bahasa Arab. Mirip kaidah tajwid, konsonan 'n' bisa lebur jadi 'm' saat bertemu 'b'. Contoh: "kuingin berada" menjadi "kuingim berada".
Klik ini untuk melihat berbagai artikel soal okkots dari Cipu.
Fenomena okkots ini bisa jadi lucu bagi pendengar yang tidak biasa. Di Makassar sendiri, 'ke-okkots-an' (aslinya berasal dari kata okko' yang berarti melewati batas) juga kerap dijadikan candaan.
Ciri-ciri khas lokal, dalam penggunaan bahasa Indonesia, kerap kita jumpai di berbagai daerah, dari Sabang sampai Merauke. Dialek daerah tertentu bisa terdengar lucu bagi pengguna bahasa di daerah lain yang tak terbiasa mendengarnya. Ini hanyalah satu dari hamparan kebhinekaan yang terdapat di Indonesia. Dan kita tentu bisa (dan terus belajar untuk biasa) menerima keberagaman itu.
Maka Tifatul pun merasa perlu menjelaskan, seperti yang ia lakukan Senin kemarin itu. Kata dia, di kalangan masyarakat Indonesia selalu ada ungkapan maupun gurauan yang berkait dengan etnis. "Itu yang (mem)buat jiwa sehat karena kita bisa bercermin," ujar dia.
Tifatul lalu menghapus twitnya demi menghormati mereka yang terlanjur marah dengannya.
Kasus okkots Tifatul ini mengingatkan kita, bahwa perkataan di Twitter pun tetap mesti mempertimbangkan berbagai aspek, apalagi di ranah di mana intonasi absen, sehingga mereduksi makna-makna yang mungkin tersirat. Seperti okkots yang adalah bagian kebhinekaan, reaksi terhadap sebuah twit pun bisa bhineka.
Maka, berhati-hatilah agar tidak salah ucat. Eh, salah ucap. Okkots mi sede'! :-)
0 komentar:
Posting Komentar