IRWAN - HASAN HAMIDO - MUDZAKKIR ALI

Ketiga ikhwah ini yang berhikmat dan mengabdikan dirinya di DPD PKS Makassar, periode 2009 - 2014

Hasan Hamido

Ketua DPD PKS Kota Makassar.

Muh.Djafar Nurdin

Ketua Dewan Pimpinan Cabang Kecamatan Tallo

Irwan, ST.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Makassar.

Andi Akmal Pasluddin

Anggota Legislatif DPR RI.

Minggu, 30 Januari 2011

Prioritas Persoalan yang Ringan atas yang Berat

DI ANTARA prioritas yang sangat dianjurkan di sini, khususnya dalam bidang pemberian fatwa dan da'wah ialah prioritas terhadap persoalan yang ringan dan mudah atas persoalan yang berat dan sulit.

Berbagai nash yang ada di dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi saw menunjukkan bahwa yang mudah dan ringan itu lebih dicintai oleh Allah dan rasul-Nya.

Allah SWT berfirman:

"... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidakmenghendaki kesukaran bagimu..." (al-Baqarah: 185)

"Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, danmanusia dijadikan bersifat lemah." (an-Nisa': 28)

"... Allah tidak hendak menyulitkan kamu..."(al-Maidah: 6)

Rasulullah saw yang mulia bersabda,

"Sebaik-baik agamamu ialah yang paling mudah darinya."1

"Agama yang paling dicintai oleh Allah ialah yang benar dan toleran."2

'Aisyah berkata,

"Rasulullah saw tidak diberi pilihan terkadap dua perkara kecuali dia mengambil yang paling mudah di antara keduanya selama hal itu tidak berdosa. Jika hal itu termasuk dosa maka ia adalah orang yang paling awal menjauhinya."3

Nabi saw bersabda,

"Sesungguhnya Allah menyukai bila keringanan yang diberikan oleh-Nya dilaksanakan, sebagaimana Dia membenci kemaksiatan kepada-Nya."4

Keringanan (rukhshah) itu mesti dilakukan, dan kemudahan yang diberikan oleh Allah SWT harus dipilih, apabila ada kondisi yang memungkinkannya untuk melakukan itu; misalnya karena tubuh yang sangat lemah, sakit, tua, atau ketika menghadapi kesulitan, dan lain-lain alasan yang dapat diterima.

Jabir bin Abdullah meriwayatkan bahwa dia melihat Rasulullah saw sedang dalam suatu perjalanan, kemudian beliau menyaksikan orang ramai mengerumuni seorang lelaki yang dipayungi, kemudian beliau bersabda, "Apa ini?" Mereka menjawab: "Dia berpuasa." Beliau kemudian bersabda,

"Tidak baik berpuasa dalam perjalanan."5

Yakni di dalam perjalanan yang amat menyulitkan ini.

Dan jika perjalanan itu tidak menyulitkan, maka dia boleh melakukan puasa; berdasarkan dalil yang diriwayatkan oleh 'Aisyah bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami pernah berkata kepada Nabi saw: "Apakah aku boleh puasa dalam perjalanan?" Hamzah adalah orang yang sering melaksanakan puasa. Karenanya Nabi saw bersabda, "Jika kamu mau, maka berpuasalah, dan jika kamu mau berbukalah."6

Khalifah Umar bin Abd al-Aziz pernah berkata mengenai puasa dan berbuka di dalam perjalanan, juga tentang perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan fuqaha, manakah di antara kedua hal itu yang paling baik. Dia berkata, "Yang paling baik ialah yang paling mudah di antara keduanya." Hal ini merupakan pendapat yang boleh diterima. Di antara manusia ada yang melaksanakan puasa itu lebih mudah daripada dia harus membayar hutang puasa itu ketika orang-orang sedang tidak berpuasa semua. Tetapi ada orang yang berlawanan dengan itu. Oleh karena itu, yang paling mudah adalah menjadi sesuatu yang paling baik.

Nabi saw menganjurkan umatnya untuk bersegera melakukan buka puasa dan mengakhirkan sahur, dengan tujuan untuk memberi kemudahan kepada orang yang melaksanakan puasa.

Kita juga banyak menemukan fuqaha yang memutuskan hukum yang paling mudah untuk dilakukan oleh manusia terhadap sebagian hukum yang memiliki berbagai pandangan; khususnya yang berkaitan dengan masalah muamalah. Ada ungkapan yang sangat terkenal dari mereka: "Keputusan hukum ini lebih mengasihi manusia."

Saya bersyukur kepada Allah karena saya dapat menerapkan jalan kemudahan dalam memberikan fatwa, dan menyampaikan sesuatu yang menggembirakan dalam melakukan da'wah, sebagai upaya meniti jalan yang pernah dilakukan oleh Nabi saw. Beliau pernah mengutus Abu Musa dan Mu'adz ke Yaman sambil memberikan wasiat kepada mereka,

"Permudahlah dan jangan mempersulit; berilah sesuatu yang menggembirakan dan jangan membuat mereka lari; berbuatlah sesuatu yang baik."7

Diriwayatkan dari Anas bahwasanya Rasulullah saw bersabda,

"Permudahlah dan jangan mempersulit; berilah sesuatu yang menggembirakan dan jangan membuat mereka lari."8

Pada suatu kesempatan saya pernah menjawab berbagai pertanyaan setelah saya menyampaikan satu kuliah: "Apabila saya mendapati dua pendapat yang sama-sama baik atau hampir sama dalam satu masalah agama; yang pertama lebih mengarah kepada kehati-hatian dan yang kedua lebih mudah, maka saya akan memberikan fatwa kepada orang awam dengan pendapat yang lebih mudah, yang lebih saya utamakan daripada pendapat yang pertama."

Sebagian kawan yang hadir dalam kuliah itu berkata, "Apa dalil anda untuk lebih mengemukakan pendapat yang paling mudah atas pendapat yang lebih hati-hati?"

Saya jawab, "Dalil saya ialah petunjuk Nabi saw, yaitu manakala beliau dihadapkan kepada dua pilihan, maka beliau tidak akan memilih kecuali pendapat yang paling mudah; dan perintahnya kepada para imam shalat jamaah untuk meringankan ma'mumnya, karena di antara mereka ada orang yang lemah, orangtua, dan orang yang hendak melaksanakan kepentingan mereka setelah itu."

Kadangkala seorang ulama memberikan fatwa dengan sesuatu yang lebih hati-hati kepada sebagian orang yang mempunyai kemauan keras, dan orang-orang wara' yang dapat menjauhkan diri mereka dari kemaksiatan. Adapun untuk orang-orang awam, maka yang lebih utama adalah pendapat yang paling mudah.

Zaman kita sekarang ini lebih banyak memerlukan kepada penyebaran hal yang lebih mudah daripada hal yang sukar, lebih senang menerima berita gembira daripada ditakut-takuti hingga lari. Apalagi bagi orang yang baru masuk Islam, atau untuk orang yang baru bertobat.

Persoalan ini sangat jelas dalam petunjuk yang diberikan oleh Nabi saw ketika mengajarkan Islam kepada orang-orang yang baru memasukinya. Beliau tidak memperbanyak kewajiban atas dirinya, dan tidak memberikan beban perintah dan larangan. Jika ada orang yang bertanya kepadanya mengenai Islam, maka dia merasa cukup untuk memberikan definisi yang berkaitan dengan fardhu-fardhu yang utama, dan tidak mengemukakan yang sunat-sunat. Dan apabila ada orang yang berkata kepadanya: "Aku tidak menambah dan mengurangi kewajiban itu." Maka Nabi saw bersabda, "Dia akan mendapatkan keberuntungan kalau apa yang dia katakan itu benar." Atau, "Dia akan masuk surga bila apa yang dia katakan benar."

Bahkan kita melihat Rasulullah saw sangat mengecam orang yang memberatkan kepada manusia, tidak memperhatikan kondisi mereka yang berbeda-beda; sebagaimana dilakukan oleh sebagian sahabat yang menjadi imam shalat jamaah orang ramai. Mereka memanjangkan bacaan di dalam shalat, sehingga sebagian ma'mum mengadukan hal itu kepada Rasulullah saw.

Nabi saw berpesan kepada Mu'adz bahwa beliau sangat tidak suka bila Mu'adz memanjangkan bacaan itu sambil berkata kepadanya: "Apakah engkau ingin menjadi tumpuan fitnah hai Mu'adz? Apakah engkau ingin menjadi tumpuan fitnah hai Mu'adz? Apakah engkau ingin menjadi tumpuan fitnah hai Mu'adz?" 9

Diriwayatkan dari Abu Mas'ud al-Anshari, ia berkata, "Ada seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw: 'Demi Allah wahai Rasulullah, sesungguhnya aku selalu memperlambat untukmelakukan shalat Subuh dengan berjamaah karena Fulan, yang selalu memanjangkan bacaannya untuk kami.' Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw memberikan nasihat dengan sangat marah kecuali pada hari itu. Kemudian Rasulullah saw bersabda, 'Sesungguhnya ada di antara kamu yang membuat orang-orang lain. Siapapun di antara kamu yang menjadi imam orang ramai, maka hendaklah dia meringankan bacaannya, karena di antara mereka ada orang yang lemah, tua, dan mempunyai kepentingan yang hendak dikerjakan." 10

Saya juga pernah menyebutkan bahwa orang yang memanjangkan bacaan shalat jamaah dengan orang banyak ini adalah Ubai bin Ka'ab, yang memiliki ilmu dan keutamaan, serta menjadi salah seorang yang mengumpulkan al-Qur'an . Akan tetapi, bagaimanapun kedudukannya tidak berarti bahwa Rasulullah saw tidak memungkirinya, sebagaimana dia memberikan wasiat mengenai hal inl kepada Mu'adz, walaupun dia merupakan orang yang sangat dicintai dan dipuji oleh Nabi saw.

Sahabat sekaligus pembantu beliau, Anas r.a., berkata, "Aku tidak pernah shalat di belakang imam satu kalipun yang lebih ringan, dan lebih sempurna shalatnya dibandingkan dengan Nabi saw. Jika beliau mendengarkan suara tangisan anak kecil, beliau meringankan shalat itu, karena khawatir ibu anak itu akan terkena fitnah." 11

Diriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah saw bersabda,

"Sesungguhnya ketika aku sudah memulai shalat, aku ingin memanjangkan bacannnya, kemudian aku mendengarkan suara tangisan anak kecil, maka aku percepat shalatku, karena aku mengetahui susahnya sang ibu bila anaknya menangis." 12

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw bersabda,

"Apabila salah seorang di antara kamu menjadi imam shalat maka hendaklah ia memperingan bacaan shalatnya, karena di antara mereka ada orang yang sakit, lemah, dan tua. Namun bila dia shalat sendirian, maka hendaklah dia memperpanjang shalatnya sesuai dengan kemauannya." 13

Nabi saw sangat mengecam terhadap hal-hal yang memberatkan apabila hal itu dianggap mengganggu kepentingan orang banyak, dan bukan sekadar untuk kepentingan pribadi satu orang saja. Begitulah yang kita perhatikan dalam tindakan beliau ketika ia mengetahui tiga orang sahabatnya yang mengambil langkah beribadah yang tidak selayaknya dilakukan, walaupun sebenarnya mereka tidak menginginkan kecuali kebaikan dan pendekatan diri kepada Allah SWT.

Diriwayatkan dari Anas r.a. berkata, "Ada tiga orang yang mendatangi rumah tiga orang istri Nabi saw menanyakan ibadahyang dilakukan oleh Nabi saw. Ketika mereka diberitahukan mengenai hal itu, seakan-akan mereka menganggap sedikit apa yang telah mereka lakukan, sambil berkata, 'Di mana posisi kita dari Nabi saw, padahal beliau telah diampuni dosa-dosanya yang terdahulu dan yang akan datang?' Salah seorang di antara mereka juga berkata, 'Oleh karena itu saya akan melakukan shalat malam selamanya.' Orang yang kedua pun berkata, 'Aku akan berpuasa selamanya dan tidak akan meninggalkannya.' Orang yang ketiga berkata, 'Sedanglan aku akan mengucilkan diri dari wanita dan tidak akan kawin selama-lamanya.' Kemudian Rasulullah saw datang kepada mereka sambil berkata, 'Kamu semua telah mengatakan begini dan begitu. Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya, akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku juga tidur, aku mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahhu, maka dia tidak termasuk golonganku." 14

Diriwayatkan dari Ibn Mas'ud r.a. bahwasanya Nabi saw bersabda, "Celakalah orang-orang yang berlebih-lebihan itu (al-mutanaththi'un)." Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali.

Yang dimaksudkan dengan orang-orang yang berlebih-lebihan (al-mutanaththi'un) ialah "orang-orang yang mengambil tindakan keras dan berat, tetapi tidak pada tempatnya."

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw bersabda,

"Sesungguhnya agama ini mudah, dan orang yang mengambil yang berat- berat dari agama ini pasti akan dikalahkan olehnya. Ambillah tindakan yang benar, dekatkan diri kepada Allah, berilah kabar gembira, dan mohonlah pertolongan kepada-Nya pada pagi dan petang hari, dan juga pada akhir malam." 15

Maksud perkataan Rasulullah saw "kecuali dia akan dikalahkan olehnya" ialah bahwa orang itu akan dikalahkan oleh agama dan orang yang mengambil hal-hal yang berat itu tidak akan mampu melaksanakan semua yang ada pada agama ini karena terlalu banyak jalan yang harus dilaluinya.

Apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw ini sebenarnya merupakan kiasan yang artinya: "Mohonlah pertolongan kepada Allah untuk taat kepada-Nya, melakukan amal kebaikan di tengah-tengah kegiatanmu dan ketika hatimu lapang, sehingga kamu merasa senang melakukan ibadah dan tidak bosan melakukannya; dan dengan demikian kamu dapat mencapai maksud dan tujuan kamu." Sebagaimana yang dilakukan oleh musafir yang pintar, dia berjalan pada waktu-waktu tertentu, kemudian dia dan kendaraannya beristirahat pada saat yang lain, sehingga dia sampai kepada tujuannya dan tidak mengalami kepenatan dan kejenuhan. Wallah a'lam.

Saya sangat terkejut kala saya membaca berita dalam surat kabar:

"Sesungguhnya pihak berwenang yang mengurus jamaah haji di kerajaan Arab Saudi mengumumkan kematian dua ratus tujuh puluh orang jamaah haji ketika melempar jumrah. Mereka meninggal karena terinjak kaki orang ramai yang berdesak-desakan untuk melakukan lemparan selepas tergelincirnya matahari."

Walaupun telah ada korban yang begitu banyak, tetapi para ulama masih saja memberikan fatwa ketidakbolehan melempar jumrah sebelum tergelincirnya matahari, padahal Nabi saw memudahkan urusan dalam melaksanakan ibadah haji; dan ketika beliau ditanya tentang amalan yang boleh dimajukan dan diakhirkan, beliau menjawabnya, "Lakukan saja, dan tidak mengapa." Para fuqaha sendiri mempermudah cara pelaksanaan pelemparan jumrah sehingga mereka memperbolehkan kepada jamaah haji untuk melakukan lemparan pada hari terakhir, dan juga boleh mewakilkan kepada orang lain ketika seseorang mempunyai uzur; yang boleh dilakukan setelah melakukan tahallul terakhir dari ihram.

Pelemparan jumrah itu, menurut tiga orang imam besar, boleh dilakukan sebelum tergelincirnya matahari; yaitu oleh seorang ahli fiqh manasik ('Atha,), ahli fiqh Yaman (Thawus) --keduanya merupakan sahabat Ibn Abbas-- dan Abu Ja'far al-Baqir, Muhammad bin Ali bin al-Husain, salah seorang ahli fiqh Ahl al-Bait.

Jika para ahli fiqh tidak membenarkan lemparan seperti itu, maka kita dapat memberlakukan fiqh darurat yang mewajibkan kepada kita untuk mempermudah ibadah kepada Allah, yang membolehkan kepada kita untuk melakukan lemparan selama dua puluh empat jam, sehingga kita tidak menjerumuskan kaum Muslimin kepada kehancuran.

Semoga Allah memberikan pahala kepada Syaikh Abdullah bin Zaid al-Mahmud, yang telah memberikan fatwa lebih dari tiga abadyang lalu, yang membolehkan lemparan sebelum tergelincirnya matahari, yang termuat di dalam bukunya, Yusr al-Islam (Islam yang Mudah).

Catatan Kaki:
1 Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad; dan Thabrani dari Mahjan bin al-Adra'; dan juga diriwayatkan oleh Thabrani dari Imran bin Hushain dalam al-Awsath; dan Ibn Adiy dan al-Dhiya' dari Anash (Lihat al-Jami' as-Shaghir, 3309) ^
2 Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari dalam al-Adabal-Mufrad; dan Thabrani dari Ibn Abbas. (Ibid., h. 160)^
3 Muttafaq 'Alaih, sebagaimana yang dimuat dalam al-Lu'lu' wa al-Marjan (1502).^
4 Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibn Hibban, dan Baihaqi di dalam as-Syu'ab dari Ibn Umar (Shahih al-Jami' as-Shaghir, 1886)^
5 Muttafaq 'Alaih, al-Lu'lu' wa al-Marjan (681).^
6 Muttafaq Alaih, ibid . 684^
7 Muttafaq Alaih dari Abu Burdah, ibid 1130^
8 Muttafaq Alaih ibid., 1131^
9 Diriwayatkan oleh Bukhari.^
10 Muttafaq 'Alaih lihat al-Lu'lu' wal-Marjan, 267.^
11 Muttafaq 'Alaih, lihat al-Lu'lu' wal-Marjan, 270.^
12 Muttafaq 'Alaih, lihat al-Lu'lu' wal-Marjan, 168.^
15 Diriwayatkan oleh Bukhari dan Nashai (Shahih al-Jami' as-Shaghir, 1611)^

PRIORITAS DALAM PENDAPAT-PENDAPAT FIQH

PADA pembahasan terdahulu, kami  telah  menyebutkan  prioritas pemahaman atas hafalan, prioritas tujuan atas bentuk lahirian, prioritas ijtihad atas taqlid, dan kini kita menginjak  kepada hukum-hukum  syari'ah  yang  bersifat  ijtihadi, dan pendapat- pendapat   fiqh   yang   bermacam-macam   dan    berbeda-beda. Bagaimanakah  kita menerima satu pendapat dan menyisihkan yang lain, mendahulukan  sebagian  pendapat  itu  dan  mengakhirkan sebagian yang lain.

Sesungguhnya  pemilihan terhadap pendapat yang kita terima itu tidak dapat dilakukan secara acak  (random),  dengan  tindakan yang  ngawur;  di  samping itu kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu; tetapi semua tindakan yang akan kita lakukan harus  ada ukuran yang dapat ditujuk dan dijadikan pedoman.

Dalam  berbagai  buku usul fiqh, persoalan ini dibahas panjang lebar dan berkisar pertimbangan dan penentuan yang lebih  kuat (atau   lebih  tepatnya  pen-tarjih-an);  dua  persoalan  yang seringkali diistilahkan dengan kontradiksi  (at-ta'arudh)  dan penerimaan yang lebih kuat (at-tarjih).

Sebagaimana  kontradiksi  yang  dihadapi oleh para imam hadits dalam 'ulum al-hadits yang berkaitan  dengan  sebagian  sunnah dengan sebagian yang lain.

Akan  tetapi,  saya  di  sini hendak mengingatkan beberapa hal yang saya anggap  sangat  penting,  khususnya  yang  berkaitan dengan  kehidupan  nyata kita pada masa kini, berupa pemikiran yang amat dinamis, dan  pandangan  yang  saling  bertentangan, baik  yang terjadi antara kaum Muslimin dan musuh-musuh mereka yang telah "ter-Barat-kan" atau  para  pendukung  sekularisme; serta   pertentangan   yang  terjadi  antara  berbagai  mazhab pemikiran dan gerakan Islam.  Apalagi  bila  pertentangan  itu terjadi  pada  orang-orang  yang bergerak dalam bidang da'wah, perbaikan, dan kebajikan Islam, yang  memiliki  bermacam-macam tujuan, metodologi yang saling bertentangan, dan kelompok yang sangat berbeda-beda.

Pandangan-pandangan manakah yang tidak  boleh  dipertentangkan sama  sekali,  dan tidak menerima pendapat yang lain, sehingga secara mutlak tidak ada toleransi yang diberikan olehnya?

Lalu pandangan-pandangan mana yang memberi --dengan kadar yang tidak  banyak--  celah untuk toleransi itu? Dan pandangan mana pula yang banyak memberikan peluang untuk berbeda pendapat dan bertoleransi?

MEMBEDAKAN ANTARA DALIL QATH'I DAN DALIL ZHANNI
Para  ulama  sepakat  bahwa  sesuatu keputusan yang ditetapkan melalui ijtihad tidak sama dengan ketetapan yang berasal  dari nash;  dan  apa  yang  telah  ditetapkan  oleh  nash  kemudian didukung oleh ijma' yang meyakinkan tidak sama dengan apa yang ditetapkan  oleh  nash  tetapi  masih  mengandung perselisihan pendapat. Perbedaan pendapat yang terjadi menunjukkan bahwa ia adalah  masalah  ijtihad. Sedangkan dalam masalah ijtihadiyah, tidak boleh terjadi saling mengingkari antara ulama yang  satu dengan  yang  lainnya.  Akan  tetapi  sebagian  ulama memiliki peluang untuk mendiskusikannya dengan sebagian yang lain dalam suasana   saling  menghormati.  Selain  itu,  apa  yang  telah ditetapkan oleh nash juga banyak berbeda dari segi apakah nashitu sifatnya qath'i (definitif) atau hanya zhanni.

Masalah-masalah  yang qath'i dan zhanni berkaitan dengan tetap (tsubut)nya nash dan penunjukan(dilalah)-nya.

Di antara nash-nash itu  ada  yang  ketetapannya  zhanni,  dan penunjukkannya juga zhanni.

* Ada yang ketetapannya zhanni, dan penunjukkannya qath'i;
* Ada yang ketetapannya qath'i, dan penunjukkannya zhanni; dan
* Ada yang ketetapannya qath'i, dan penunjukannya juga qath'i.

Ketetapan yang bersifat zhanni  ini  khusus  berkaitan  dengan sunnah yang tidak mutawatir. Dan sunnah mutawatir ialah sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari sekelompok  orang yang  lain, dari awal mata rantai periwayatan hingga akhirnya, sehingga tidak ada kemungkinan  bagi  mereka  untuk  melakukan kebohongan. Sedangkan sunnah Ahad tidak seperti itu.

Di  antara ulama ada yang berkata, "Sesungguhnya yang dianggap mutawatir itu ialah hadits  'aziz.  Tetapi  hampir  tidak  ada hadits  'aziz yang mencapai derajat mutawatir. Tetapi ada pula ulama yang memberikan kelonggaran lebih dari itu, sehingga dia memasukkan  hadits-hadits  dha'if  kepadanya,  yang tentu saja ditolak oleh Bukhari dan Muslim. Oleh  karena  itu,  hendaknya berhati-hati orang yang mengatakan bahwa suatu hadits dianggap mutawatir    jika    dia    tidak    memiliki    bukti    bagi ke-mutawatir-annya.

Ada  ulama  yang menggolongkan kepada mutawatir, hadits-hadits yang memiliki sifat  hampir  sama  dengan  mutawatir;  seperti hadits  yang  diterima  oleh suatu umat. Seperti hadits-hadits dalam Shahih Bukhari Muslim yang  tidak  ditentang  oleh  para ulama yang memiliki kompetensi dalam bidang itu.

Dan  penunjukan  yang  bersifat  zhanni  mencakup  sunnah  dan al-Qur'an secara bersamaan. Kebanyakan nash yang  ada  padanya mengandung  berbagai  macam  pemahaman  dan penafsiran, karena ungkapan yang dipergunakan pada keduanya  sudah  barang  tentu ada  yang  hakiki  dan  ada  yang  berbentuk  kiasan, ada yang bersifat khusus dan ada pula  yang  bersifat  umum,  ada  yang mutlak  dan  ada  yang terikat, ada yang berindikasi kesamaan, ada yang berindikasi kandungan yang sama, dan  ada  pula  yang berindikasi sejajar.

Kebanyakan   pemahaman  manusia  tunduk  kepada  akal  pikiran manusia,   kondisi,   dan   kecenderungan    psikologis    dan intelektualnya. Oleh sebab itu, orang yang keras akan memahami nash dengan pemahaman yang berbeda  dengan  orang  yang  biasa saja.  Oleh  karena  itu  dalam  warisan pemikiran Islam, kita mengenal  kekerasan  (keketatan)  Ibn  Umar,  dan   keringanan (kemudahan) Ibn 'Abbas. Orang yang mempunyai wawasan yang luas akan  berbeda  sama  sekali  pandangannya  dengan  orang  yang berwawasan  sempit.  Di samping itu, maksud yang terkandung di dalam nash ada yang dipahami tidak seperti  yang  tampak  dari segi lahiriahnya secara harfiyah, di mana segi lahiriahnya ini seringkali malah stagnan. Masalah  perintah  shalat  Ashar  di Bani   Quraizhah  merupakan  dalil  yang  sangat  jelas  untuk menerangkan persoalan di atas.

Allah Maha Bijaksana untuk membuat nash yang beragam itu, agar mencakup  kehidupan manusia secara luas, dengan orientasi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, Allah menurunkan kitab suci-Nya yang  abadi,  di  dalamnya ada ayat yang muhkamat (yang terang dan tegas artinya) yang merupakan pokok-pokok  isi  al-Qur'an, dan  ada  pula  ayat-ayat  yang  mutasyabihat (yang mengandung beberapa pengertian).

Sekiranya Allah ingin mengumpulkan manusia pada satu pemahaman atau  satu  pandangan  saja,  maka  Dia  akan menurunkan kitab suci-Nya dengan ayat-ayat  yang  seluruhnya  muhkamat,  dengan seluruh nashnya yang pasti.

Seluruh  al-Qur'an  tidak  diragukan  lagi  bahwa ketetapannya bersifat pasti, akan tetapi  kebanyakan  ayat-ayatnya  --dalam masalah   yang   kecil  (juz'iyyat)--  penunjukannya  bersifat zhanni;  dan  inilah  yang  menyebabkan  para  fuqaha  berbeda pendapat dalam mengambil suatu kesimpulan hukum.

Akan  tetapi untuk masalah-masalah yang besar, seperti masalah ketuhanan,  kenabian,  pahala,  pokok-pokok   aturan   ibadah, pokok-pokok  aturan moralitas (yang berkaitan dengan perbuatan baik  maupun  perbuatan  yang  buruk),  hukum-hukum   mendasar mengenai  keluarga  dan  warisan, hudud dan qisas, dan lainnya telah dijelaskan dalam ayat yang muhkamat,  yang  tidak  dapat dipertentangkan  lagi, sehingga semua orang memiliki pandangan yang sama.

Persoalan-persoalan  di  atas  juga  ditegaskan  kembali  oleh sunnah  Nabi  saw,  yang  berupa  perkataan, perbuatan, maupun ketetapan  darinya;  selain  ditetapkan  oleh  konsensus  para ulama,  yang  disesuaikan  dengan praktek yang harus dilakukan oleh umat.

Atas dasar itu, kita tidak  boleh  mencampurkan  --baik  dalam kondisi  tidak  mengetahui  atau dengan sengaja melakukannya-- antara sebagian nash dengan sebagian yang lain.

Seseorang  dapat  dimaafkan  jika  dia   menolak   nash   yang ketetapannya  bersifat  zhanni,  jika dia mempunyai dalil yang menunjukkan bahwa dalil itu tidak pasti.

Seseorang juga dimaafkan apabila dia  menolak  suatu  pendapat yang berdasarkan nash yang penunjukannya bersifat zhanni; atau untuk memberikan  suatu  penafsiran  baru  yang  belum  pernah dilakukan  oleh  generasi  ulama terdahulu; tentu saja apabila penafsiran seperti itu mungkin dilakukan.

Kadangkala seseorang tidak dimaafkan karena melakukan ini  dan itu  ketika dia menolak nash yang bersifat zhanni, apabila dia sengaja menghindarinya atau mencari  yang  paling  mudah  bagi dirinya.  Namun tindakan ini tidak sampai membuatnya kafir dan mengeluarkannya  dari  agama  ini  karena  tindakan  tersebut. Paling  jauh,  dia  dianggap  melakukan  bid'ah,  atau dituduh melakukan  bid'ah,  dan   keluar   dari   jalan   yang   biasa dipergunakan   oleh   Ahlussunnah;  dan  Allah-lah  yang  akan memperhitungkan apa yang dilakukan olehnya. Tindakan ini tidak boleh  dilakukan oleh sembarang orang, yang boleh melakukannya hanyalah mahaqqiq (peneliti) yang  benar-benar  memiliki  ilmu dalam bidang tersebut.

Orang yang benar-benar dianggap sebagai keluar dari Islam, dan perkataannya  mesti  diabaikan  ialah   orang   yang   menolak nash-nash   yang  bersifat  qath'i  dari  segi  ketetapan  dan penunjukannya secara bersamaan. Walaupun jumlah  orang  serupa ini  tidak  banyak,  namun  masalah ini dianggap sangat serius dalam urusan agama. Karena  sesungguhnya  orang-orang  seperti ini  akan  mengacaukan  kesatuan aqidah, pemikiran, emosi, dan ilmu kaum Muslimin.  Padahal  hal-hal  seperti  ini  merupakan pemutus   hukum   sekaligus  menjadi  rujukan  apabila  mereka berselisih pendapat. Apabila hal-hal  tersebut  sendiri  masih dipertentangkan  dan  diperselisihkan, maka apalagi yang dapat dijadikan sebagai rujukan oleh manusia.

Oleh karena itu, melalui berbagai buku kami, kami mengingatkan
adanya  perang  pemikiran  yang berusaha mengubah hal-hal yang
qath'i kepada zhanni, mengubah hal-hal  yang  muhkamat  kepada
mutasyabihat;  sebagaimana  orang-orang  yang  menentang  ayat
pengharaman khamar:

"... sesungguhnya meminum khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Maidah: 90)

Mereka meragukan penunjukan  yang  ditunjukan  oleh  perkataan "maka  jauhilah  perbuatan-perbuatan  itu" bahwa perkataan ini bukan menunjukkan kepada pengharaman.

Orang-orang seperti ini sama dengan orang-orang yang menentang pengharaman  riba,  pengharaman  daging  babi,  dan orang yang menentang pemberian warisan kepada perempuan,  atau  pemberian kekuasaan penuh kepada laki-laki di dalam keluarga, atau orang yang menentang wajibnya penggunaan jilbab (penggunaan kerudung dan  pakaian  yang  menutup  aurat  perempuan),  dan lain yang ditunjukkan oleh  nash-nash  yang  ketetapan  dan  indikasinya bersifat  qath'i, atau ditetapkan melalui konsensus umat, yang telah menjadi fiqh dan amalan,  teori  dan  praktek  umat  ini selama empat belas abad lamanya.

Sesungguhnya   perkara-perkara  agama  yang  sudah  jelas  ini dikatakan oleh para ulama  sebagai  "Aksiomatika"  (Badahiyat) yang diketahui secara menyeluruh oleh semua kaum Muslimin baik yang khusus maupun  orang  awamnya,  tanpa  harus  dikemukakan dalil  untuk  masalah-masalah  tersebut,  karena  sesungguhnya dalilnya banyak dan sudah lazim diketahui, serta telah merasuk di dalam perasaan umat.

Untuk  hal-hal  seperti  itulah  orang yang menentang dianggap kafir.  Sebelum  anggapan  itu  dikenakan   kepadanya,   harus disampaikan  dahulu  hujjah kepadanya, kemudian bila dia masih tetap pada keyakinannya seperti itu, maka dia tidak  dimaafkan lagi,  dan  setelah  itu dia harus dikeluarkan dari tubuh umat ini, lalu dilepaskan sama sekali.

Kita perlu memusatkan pikiran kepada hal-hal qath'i yang telah disepakati  oleh  umat, dan bukan hal-hal yang bersifat zhanni yang masih diperselisihkan.  Yang  membuat  umat  tidak  punya peran  adalah  pengabaiannya  akan  hal-hal  yang  qath'i. Dan 'peperangan' yang  terjadi  antara  penganjur-penganjur  Islam hari  ini  di  seluruh  dunia  Islam  dan  penganjur-penganjur sekularisme yang tidak beragama hanya  berkisar  pada  hal-hal yang  bersifat qath'i; seperti hal-hal yang bersifat qath'i di dalam aqidah, syariah, pemikiran dan perilaku manusia.

Sesungguhnya hal-hal yang qath'i  seperti  ini  wajib  menjadi dasar  bagi  pemahaman  dan  pengetahuan;  menjadi  dasar bagi da'wah dan informasi; dasar bagi  pendidikan  dan  pengajaran; dan dasar bagi keberadaan Islam secara menyeluruh.

Sebenarnya  hal-hal  yang dianggap paling membahayakan didalam da'wah Islam dan kebajikan  Islam  ialah  bergulirnya  manusia secara  terus-menerus  kepada  persoalan-persoalan  khilafiyah yang tidak akan ada habis-habisnya, serta akan selalu  membuat suasana  panas  di  sekitarnya,  dan  akan  mengkotak-kotakkan manusia  sesuai  dengan  pandangan  yang  mereka  anut,  serta menentukan layak tidaknya seseorang atas dasar hal tersebut.

Sebetulnya  kami  telah  menjelaskan dalil-dalil qath'i ini di dalam  buku  kami,  as-Shahwah  bayn  al-Ikhtilaf   al-Masyru' wat-Tafarruq   al-Madzmum,   walaupun   sebenarnya   perbedaan pendapat seperti itu merupakan sesuatu yang  penting,  rahmat, dan kekayaan umat. Kita tidak mungkin menghilangkannya.

Perkataan  saya  ini bukan berarti bahwa kita tidak boleh sama sekali berbicara tentang masalah khilafiyah, dan tidak mungkin menetapkan  satu pendapat pada masalah aqidah, atau fiqh, atau perilaku manusia. Ini sesuatu yang  mustahil.  Jika  demikian, lalu  apa  yang  dilakukan  oleh para ulama kalau mereka tidak boleh membenarkan, menyalahkan, menerima dan memilih?

Sesuatu yang tidak saya inginkan ialah kita mencurahkan segala perhatian  kepada persoalan tersebut, sehingga kita disibukkan kepada hal-hal  yang  diperselisihkan  lebih  banyak  daripada hal-hal  yang  telah  disepakati.  Kita  mencurahkan perhatian kepada yang zhanni, sedangkan  manusia  menyimpang  dari  yang qath'i.

Adalah    salah   dan   berbahaya   jika   kita   mengemukakan masalah-masalah yang  diperselisihkan  dengan  sengit  sebagai masalah-masalah   yang   bisa   diterima   dan   tidak   perlu dipertentangkan seraya  mengesampingkan  pendapat  orang  lain yang  memiliki  pandangan dan dalilnya, bagaimanapun bentuknya pendapat yang kita miliki.

Seringkali, pendapat orang selain  kita  itu  adalah  pendapat jumhur  di kalangan para ulama umat ini. Walaupun mereka tidak ma'shum dan ijma' mereka tidak absolut,  tetapi  ijma'  mereka tidak boleh diremehkan.

Seperti  orang-orang  yang  menganjurkan  wajibnya  penggunaan cadar  (penutup  muka)  dan  kerudung  yang  panjang,   dengan anggapan  bahwa  pendapat mereka adalah paling benar dan tidak mengandung  kesalahan.  Mereka  sangat   tidak   suka   kepada orang-orang yang menentang pendapat mereka, padahal sebetulnya para penganjur itu berselisih pendapat dengan jumhur ulama dan fuqaha  yang  lebih  besar  jumlahnya;  di samping mereka juga bertentangan dengan dalil-dalil yang  jelas  dan  terang  dari al-Qur'an dan sunnah, serta amalan para sahabat.

Ada  seorang  juru  da'wah  yang  sangat menyedihkan hati saya dalam  sebuah  khotbahnya  yang  masih  ada  rekamannya.   Dia mengatakan, "Sesungguhnya perempuan yang membuka wajahnya sama dengan perempuan yang membuka farjinya."  Ini  adalah  sesuatu yang  sangat  berlebihan,  yang  tidak patut keluar dari orang yang memiliki pemahaman dan wawasan yang luas.

Pada kesempatan ini  saya  ingin  mengingatkan,  "Sesungguhnya pendapat  sebagian  ulama  ada  yang  dianggap aneh pada suatu lingkungan dan masa  tertentu,  karena  pendapat  itu  mungkin lebih  cepat  mendahulu  zamannya, tetapi pada zaman yang lain ada  orang  yang  menguatkan  pendapatnya  dan  menyiarkannya, sehingga  pendapat itu menjadi pendapat yang boleh diandalkan, sebagaimana yang terjadi dengan  berbagai  pendapat  Imam  Ibn Taimiyah rahimahumullah".

Sabtu, 29 Januari 2011

PRIORITAS STUDI DAN PERENCANAAN PADA URUSAN DUNIA

KALAU kita pernah mengatakan tentang pentingnya ilmu atas amal dalam berbagai urusan agama, maka kita sekarang ini menegaskan mengenai pentingnya ilmu dalam urusan-urusan dunia.

Kita  hidup  sekarang  ini  pada  zaman  yang  segala  sesuatu didasarkan atas ilmu pengetahuan. Pada zaman kita sekarang ini sudah tidak lagi  menerima  hal-hal  yang  tidak  teratur  dan mengawur  dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan kehidupan dunia.

Semua  pekerjaan  yang  baik  mesti  didahului  dengan   studi kelayakan  terlebih  dahulu, dan harus dipastikan menghasilkan sesuatu yang memuaskan sebelum  pekerjaan  itu  dimulai.  Oleh karena  itu,  mesti  ada perencanaan sebelum melakukannya, dan harus diperhitungkan secara matematis dan  dilakukan  berbagai penelitian sebelum pekerjaan itu dilakukan.

Dalam   buku   dan   kajian-kajian   yang   lain  saya  pernah menyebutkan: "Sesungguhnya penelitian, perencanaan, dan  studi kelayakan sebelum kerja dilaksanakan merupakan etos kerja yang telah ada pada Islam. Rasulullah saw adalah orang yang pertama kali   melakukan   perhitungan   secara   statistik   terhadap orang-orang yang beriman kepadanya setelah  dia  berhijrah  ke Madinah  al-Munawwarah.  Dan kesan dari perencanaan itu begitu terasa   pada   perjalanan   hidup   beliau   dalam   berbagai bentuknya.20

Seharusnya orang yang paling dahulu melakukan perencanaan hari esok mereka ialah para aktivis gerakan Islam, sehingga  mereka tidak   membiarkan   semua   urusan   mereka   berjalan  tanpa perencanaan; tanpa memanfaatkan pengalaman di masa yang  lalu; tanpa  mencermati  realitas  yang terjadi pada hari ini; tanpa menimbang benar dan salahnya ijtihad  yang  pernah  dilakukan; tanpa  menilai untung-ruginya perjalanan umat kemarin dan hari ini;  tanpa  memiliki  pengetahuan  yang   mendalam   mengenai kemampuan  dan  fasilitas  yang  dimiliki oleh umat, baik yang berbentuk material maupun  spiritual,  yang  tampak  dan  yang tidak   tampak,  yang  produktif  dan  yang  tidak  produktif. Perencanaan yang mereka buat itu  mesti  memperhatikan  sumber kekuatan  dan  titik-titik  kelemahan  yang dimiliki oleh umat kita dan musuh-musuh kita; kemudian siapakah sebenarnya  musuh kita  yang  hakiki?  Siapakah  musuh kita yang abadi dan musuh yang insidental? Siapakah di antara mereka yang mungkin  dapat kita manfaatkan dan siapa yang tidak dapat dimanfaatkan? Siapa yang dapat kita ajak berdiskusi dan siapa  yang  tidak?  Semua musuh   harus   kita   pandang  secara  berbeda,  karena  pada hakikatnya mereka juga berbeda-beda.

Semua persoalan di atas tidak dapat diketahui  kecuali  dengan ilmu  pengetahuan  dan  kajian yang objektif, yang sama sekali tidak emosional,  bebas  dari  pelbagai  pengaruh  individual, lingkungan dan waktu sejauh yang dapat dilakukan oleh manusia; karena sesungguhnya  kebebasan  yang  bersifat  mutlak  hampir dapat dikatakan mustahil.

Catatan Kaki:
20 Baca buku kami ar-Rasul wal-'Ilm, cet. Mu'assasah ar-Risalah, Beirut dan Darus-Shahwah Islamiyyah. ^

Jumat, 28 Januari 2011

PRIORITAS IJTIHAD ATAS TAQLID

PEMBAHASAN  mengenai  prioritas  ijtihad  dan  pembaruan  atas pengulang-ulangan  dan  taqlid,  berkaitan  erat  dengan  fiqh maksud dan tujuan syari'ah seperti yang telah  kami  bahas  di muka,  serta  berkaitan  pula  dengan  masalah  pemahaman  dan hafalan.

Ilmu,  menurut  para  ulama  salaf  umat  ini,  bukan  sekadar pengetahuan  tentang  hukum,  walaupun  diperoleh  dari  hasil taqlid kepada orang lain  atau  mengutip  perkataannya  dengan tidak  memiliki  hujjah  yang memuaskan. Dengan kata lain, dia mengetahui kebenaran melalu orang lain, dan mengikuti pendapat orang banyak yang tidak berdalil.

Ilmu,  menurut mereka sekali lagi, ialah ilmu yang independen, yang disertai dengan hujjah, dan tidak perduli apakah ilmu ini disepakati oleh Zaid atau Amr. Ilmu ini tetap berjalan bersama dengan dalilnya ke manapun  ia  pergi.  Dia  berputar  bersama kebenaran yang memuaskan di manapun berada.

Ibn  al-Qayyim  mengemukakan  hujjah berkenaan dengan larangan dan celaan melakukan taqlid berdasarkan firman Allah SWT:

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyei pengetahuan tentangnya..." (al-Isra': 36)

Dia berkata, "Taqlid itu bukanlah pengetahuan yang  disepakati oleh ahli ilmu pengetahuan itu." Dalam I'lam al-Muwaqqi'in, ia menyebutkan lebih dari delapan puluh macam taqlid  yang  tidak benar,  dan  penolakannya terhadap syubhat yang dilakukan oleh para pelakunya."19

Kalau  kejumudan  pada   lahiriah   nash   dianggap   tercela, sebagaimana  yang  dilakukan  oleh  pengikut mazhab Zhahiriyah lama dan baru,  maka  celaan  juga  patut  dikenakan  terhadap kejumudan   terhadap   apa  yang  dikatakan  oleh  para  tokoh terdahulu, tanpa mempedulikan perkembangan yang terjadi antara zaman  kita  dan  zaman  mereka,  keperluan kita dan keperluan mereka, pengetahuann kita dan pengetahuan mereka.  Saya  kira, kalau  mereka  sempat  hidup  pada  zaman  kita  sekarang  ini sehingga mereka dapat melihat  apa  yang  kita  lihat,  mereka hidup  seperti  kita  hidup  sekarang ini --pada posisi mereka sebagai orang yang mampu melakukan  ijtihad  dan  berpandangan luas--  maka  mereka  akan  banyak  mengubah  fatwa  dan hasil ijtihad yang telah mereka lakukan.

Bagaimana tidak? Sahabat-sahabat mereka, yang  datang  sesudah periode   mereka   banyak  yang  telah  melakukan  pengubahan, dikarenakan terjadinya perbedaan waktu dan zamannya,  walaupun sebenarnya  jarak  waktu  antara kelompok pertama dan kelompok yang kedua tidak begitu jauh. Bagaimana tidak, para imam  ahli ijtihad  itu sendiri telah banyak melakukan perubahan terhadap pendapat mereka ketika mereka masih  hidup,  karena  mengikuti perubahan  ijtihad  yang baru mereka lakukan, bisa jadi karena pengaruh umur, kematangan, zaman, atau tempat mereka melakukan ijtihad?

Imam  Syafi'i  r.a.  sebelum  pindah  dan menetap di Mesir dia telah  mempunyai  mazhab  yang  dikenal  dengan  "Qaul  qadim" (pendapat  lama);  kemudian  setelah dia menetap di Mesir, dia mempunyai  mazhab  baru  yang  dikenal  dengan  "Qaul   jadid" (pendapat  baru).  Hal ini terjadi karena dia baru melihat apa yang belum pernah dia lihat sebelumnya, dan dia baru mendengar apa yang belum dia dengar sebelum itu.

Imam  Ahmad  juga  meriwayatkan  bahwa  dalam satu masalah dia mengeluarkan pandangan yang berbeda-beda. Hal ini  tidak  lain karena  sesungguhnya  fatwanya  dikeluarkan  pada  situasi dan kondisi yang berbeda.

Catatan Kaki:

19 Lihat I'lam al-Muwaqqi'in, juz 2, h. 168-260, cet. Al-Sa'adah Mesir, yang ditahqiq oleh Muhammad Muhyiddin Abd al-Hamid. ^

Kamis, 27 Januari 2011

PRIORITAS MAKSUD DAN TUJUAN ATAS PENAMPILAN LUAR

DI ANTARA persoalan yang termasuk di dalam fiqh prioritas  ini ialah  tujuan. Yakni menyelami pelbagai tujuan yang terkandung di  dalam  syari'ah,  mengetahi  rahasia  dan   sebabsebabnya, mengaitkan   antara   satu   sebab  dengan  sebab  yang  lain, mengembalikan cabang kepada  pokoknya,  mengembalikan  hal-hal yang parsial kepada yang universal, dan tidak menganggap cukup mengetahui penampakan dari luar, serta jumud di dalam memahami nash-nash syari'ah tersebut.

Sebagaimana  diketahui,  dari  nash  yang bermacam-macam, yang berasal dari al-Qur'an dan Sunnah,  seperti  yang  ditunjukkan oleh  penelitian  hukum  yang  parsial  dalam  berbagai bentuk peribadahan dan muamalah, hubungan antara  keluarga,  hubungan sosial,  politik,  dan  hubungan internasional, bahwa syari'ah ini memiliki berbagai tujuan yang terkandung pada  setiap  hal yang   disyari'ahkan  olehnya,  baik  berupa  perintah  maupun larangan; ataupun berupa hukum yang  mubah.  Agama  ini  tidak mensyari'ahkan  sesuatu  dengan  sewenang-wenang,  tetapi  dia dalam syari'ah yang dibuatnya terkandung  hikmah  yang  sesuai dengan  kesempurnaan  Allah  SWT,  ilmu-Nya,  rahmat-Nya,  dan kebaikan-Nya kepada makhluk-Nya. Di antara nama-Nya yang mulia ialah  "Maha  Mengetahui  dan  Maha Bijaksana". Allah SWT Maha Bijaksana dengan apa yang disyari'ahkan dan  Dia  perintahkan. Dia  juga  Maha  bijaksana dalam hal yang berkaitan dengan apa yang  Dia  ciptakan   kemudian   Dia   menetapkan   ukurannya. Kebijaksanaan-Nya  tampak pada dunia perintah-Nya, sebagaimana tampak juga di dalam dunia penciptaan. Allah SWT berfirman:

"... Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah..." (al A'raf: 54)

Karena Dia tidak pernah menciptakan  sesuatu  dengan  sia-sia, maka juga tidak pernah menetapkan syari'ah yang kaku dan tidak berguna.

Orang-orang yang bijak berkata  tentang  apa  yang  diciptakan oleh Tuhan

"... Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Ali 'Imran: 151)

Kita juga dapat mengatakan, "Wahai  Tuhan  kami,  sesungguhnya Engkau  tidak  menetapkan  syari'ah  ini kecuali dengan hikmah yang terkandung di dalamnya."

Kekeliruan yang sering kali dilakukan  oleh  orang-orang  yang menggeluti  ilmu  agama  ini  ialah  bahwasanya  mereka  hanya mengambang di permukaan dan tidak turun menyelam ke  dasarnya, karena  mereka  tidak  memiliki  keahlian  dalam  berenang dan menyelam  ke  dasarnya,  untuk  mengambil  mutiara  dan   batu mulianya.  Mereka  hanya disibukkan dengan hal-hal yang ada di permukaan, sehingga tidak sempat mencari  rahasia  dan  tujuan yang sebenarnya. Mereka dilalaikan oleh perkara-perkara cabang saja dan bukan perkara-perkara yang utama. Mereka  menampilkan agama  Allah, dan hukum-hukum syari'ahnya atas hamba-hamba-Nya dalam bentuk yang bermacam-macam, dan tidak menampilkan  dalam bentuknya  yang  universal.  Bentuk-bentuk itu tidak dikaitkan dengan satu sebab yang menyatukannya, sehingga syari'ah  agama Allah  hanya  tampak seperti yang diucapkan oleh lidah mereka, dan yang ditulis oleh pena mereka. Syari'ah seakan-akan  tidak mampu  mewujudkan  kemaslahatan  bagi  makhluk  Allah, padahal kegagalan itu sebenarnya  bukan  pada  syari'ah,  tetapi  pada pemahaman  mereka  yang memutuskan keterkaitan antara sebagian hukum dengan sebagian yang  lain.  Mereka  tidak  peduli  bila tindakan  mereka  memisahkan  antara  hal-hal  yang sama, atau menyamakan hal-hal yang sebetulnya berbeda;  padahal  hal  itu sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh syari'ah.

Seringkali penyimpangan pada hal-hal yang lahiriah seperti ini mempersempit apa yang sebenarnya telah diluaskan  oleh  Allah, mempersulit  hal-hal  yang  dipermudah  oleh syari'ah, membuat stagnasi persoalan yang sepatutnya dapat  dikembangkan,  serta mengikat   hal-hal   yang   seharusnya  dapat  diperbarui  dan kembangkan

Rabu, 26 Januari 2011

PRIORITAS PEMAHAMAN ATAS HAFALAN

ADA baiknya saya mengingatkan di sini --ketika kita  berbicara tentang  prioritas  pengetahuan  atas  amal perbuatan-- kepada sesuatu yang penting, yang juga termasuk di dalam perbincangan kita  mengenai  fiqh prioritas. Yaitu prioritas pemahaman atas penguasaan yang sekadar hafalan. Ilmu yang hakiki  ialah  ilmu yang betul-betul kita fahami dan kita cerna dalam otak kita.

Itulah  yang sebenarnya diinginkan oleh Islam dari kita; yaitu pemahaman terhadap ajaran agama,  dan  bukan  sekadar  belajar agama; sebagaimana dijelaskan di dalam firman Allah SWT:

"Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." (at-Taubah: 122)

Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan,

"Barangsiapa dihendaki Allah mendapatkan kebaikan, maka Dia akan memberinya pemahaman tentang agamanya."15

Fiqh merupakan sesuatu yang lebih  dalam  dan  lebih  spesifik dibandingkan  dengan  ilmu  pengetahuan. Sesungguhnya fiqh itu mencakup pemahaman, dan juga  pemahaman  yang  mendalam.  Oleh karena  itu, Allah SWT menafikannya dari orang-orang kafir dan orang-orang  munafik,  ketika  Dia  memberikan  sifat   kepada mereka:

"...  disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti." (al-Anfal 65)
Dalam hadits Abu Hurairah r.a. yang diriwayatkan  oleh  Muslim dikatakan,

"Manusia itu bagaikan barang tambang, seperti layaknya tambang emas dan perak. Orang yang baik pada zaman jahiliyah adalah orang yang baik pada zaman Islam apabila mereka memiliki pemahaman yang baik."

Dalam hadis Abu Musa yang dimuat di dalam Shahihain dikatakan,

"Perumpamaan Allah mengutusku dengan petunjuk dan ilmu pengetahuan adalah seperti hujan lebat yang menyirami tanah. Di antara tanah itu ada yang gembur yang bisa menerima air, kemudian menumbahkan rerumputan yang lebat. Kemudian ada pula tanah cadas yang dapat menghimpun air sehingga airnya dapat dimanfantkan oleh manusia. Mereka minum, memberi minum kepada binatang ternak, dan bercocok tanam dengannya. Tetapi ada juga tanah yang sangat cadas dan tidak dapat menerima air, tidak dapat menumbuhkan tanaman. Begitulah perumpamaan orang yang memahami ajaran agama Allah dan memanfaatkan ajaran yang aku diutus untuk menyampaikannya. Dia memahami kemudian mengajarkannya. Dan begitulah orang yang tidak mau mengangkat kepalanya dan tidak mau menerima petunjuk Allah yang aku diutus untuk menyampaikannya.'16

Hadits ini mengumpamakan apa yang  dibawa  oleh  Nabi,  berupa petunjuk   dan   ilmu  pengetahuan,  laksana  air  hujan  yang menghidupkan  tanah  yang  mati,  bagaikan  ilmu  agama   yang menghidupkan  hati yang telah mati. Orang yang menerima ajaran agama itupun bermacam-macam, seperti beraneka  ragamnya  tanah yang  menerima  air  hujan. Tingkatan orang yang paling tinggi ialah orang yang memahami ilmu  pengetahuan,  memanfaatkannya, kemudian  mengajarkannya.  Ia  bagaikan  tanah  yang subur dan bersih, yang airnya dapat diminum, serta menumbuhkan  berbagai macam  tanaman  di  atasnya. Tingkatan yang berada di bawahnya ialah orang yang mempunyai hati yang dapat  menyimpan,  tetapi dia tidak mempunyai pemahaman yang baik dan mendalam pada akal pikiran mereka, sehingga dia dapat  membuat  kesimpulan  hukum yang  dapat  dimanfaatkan  oleh  orang  lain...  Mereka adalah orang-orang  yang  hafal,  dan  bila  ada  orang  yang  datang memerlukan  ilmu  pengetahuan yang dimilikinya, maka dia dapat memberikan manfaat hafalan itu kepadanya. Orang-orang  seperti inilah   yang  dapat  dimanfaatkan  ilmu  pengetahuan  mereka. Kelompok orang seperti ini  diumpamakan  seperti  tanah  cadas yang  mampu  menampung air, sehingga datang orang yang meminum airnya, atau memberi minum  kepada  binatang  ternaknya,  atau menyirami  tanaman  mereka.  Itulah  yang  diisyaratkan  dalam sebuah hadits yang sangat terkenal:

"Semoga Allah memberi kebaikan kepada orang yang mendengarkan perkataanku kemudian dia menghafalnya, lalu menyampaikannya sebagaimana yang dia dengarkan. Bisa jadi orang yang membawa fiqh bukanlah seorang faqih, dan bisa jadi orang yang membawa fiqh ini membawanya kepada orang yang lebih faqih daripada dirinya."17

Sedangkan  kelompok  ketiga  ialah  orang-orang   yang   tidak memiliki  pemahaman dan juga tidak ahli menghafal, tidak punya ilmu dan tidak punya amal. Mereka bagaikan  tanah  cadas  yang tidak  dapat  menampung  air dan tidak dapat dimanfaatkan oleh orang lain.18

Hadits tersebut menunjukkan bahwa manusia yang  paling  tinggi derajatnya  di sisi Allah dan rasul-Nya ialah orang-orang yang memahami dan mengerti, disusul dengan  orang  yang  menghafal. Disitulah  letak  kelebihan  orang  yang faham atas orang yang menghafal; dan letak kelebihan fuqaha atas para huffazh. Dalam qurun  yang  terbaik bagi manusia --yaitu tiga abad pertama di dalam Islam-- kedudukan dan kepeloporan berada di tangan  para faqih,  sedangkan  pada  masa-masa  kemunduran,  kedudukan dan kepeloporan itu ada para hafizh.

Saya tidak hendak mengatakan bahwa hafalan sama  sekali  tidak mempunyai  arti  dan  nilai,  serta ingatan yang dimiliki oleh manusia itu tidak ada gunanya. Tidak, ini  tidak  benar.  Saya hanya ingin mengatakan: "Sesungguhnya hafalan hanyalah sebagai gudang data dan ilmu pengetahuan; untuk kemudian dimanfaatkan. Menghafal bukanlah tujuan itu sendiri, tetapi ia adalah sarana untuk mencapai yang lainnya. Kesalahan yang  banyak  dilakukan oleh kaum Muslimin ialah perhatian mereka kepada hafalan lebih tinggi daripada pemahaman, dan memberikan  hak  dan  kemampuan yang lebih besar kepadanya.

Oleh  karena  itu,  kita  menemukan  penghormatan  yang sangat berlebihan diberikan kepada para  penghafal  al-Qur'an,  tanpa mengurangi  rasa  hormat saya kepada mereka. Sehingga berbagai perlombaan untuk itu seringkali dilakukan di berbagai  negara, yang  menjanjikan  hadiah  yang  sangat besar nilainya; hingga mencapai puluhan ribu dolar untuk seorang pemenang. Ini  perlu kita hargai dan kita syukuri.

Akan  tetapi,  sangat  disayangkan  hadiah  seperti  itu, atau setengahnya,  bahkan  seperempatnya,  tidak  diberikan  kepada orang-orang yang mencapai prestasi gemilang di dalam ilmu-ilmu syariah yang lainnya; seperti ilmu tafsir, ilmu hadits,  fiqh, usul  fiqh,  aqidah, dan da'wah; padahal keperluan umat kepada orang-orang seperti ini lebih banyak, di samping  itu  manfaat yang diperoleh dari mereka juga lebih besar.

Di   antara   persoalan  yang  sangat  memalukan  dalam  dunia pendidikan  di  negara  kita  ialah   bahwa   pendidikan   itu kebanyakan  didasarkan  kepada  hafalan  dan "kebisuan", serta tidak didasarkan kepada pemahaman dan pencernaan. Oleh  karena itu,  kebanyakan  pelajar  lupa  apa  yang telah dipelajarinya setelah dia menempuh ujian. Kalau  apa  yang  mereka  pelajari didasarkan  atas pemahaman dan contoh yang nyata, maka hal itu akan masuk ke dalam otak mereka, dan tidak mudah  hilang  dari ingatan.

Catatan Kaki:

15 Muttafaq Alaih, dari Mu'awiyah. al-Lu'lu' wa al-Marjan (615) ^
16 Muttafaq 'Alaih, dari Mu'awiyah, al-Lu'lu' wal-Marjan (1471) ^
17 Hadits ini diriwayatkan dalam beberapa redaksi yang berbeda dari Zaid bin Tsabit, Ibn Mas'ud dan lain-lain. Sebagaimana disebutkan di dalam Shahih al-Jami'as-Shaghir (6763-6766) ^
18 Lihatlah penjelasan hadits ini di dalam at-Fath, 1 :177; Nawawi meriwayatkannya dari Muslim, yang kemudian dikutip oleh pengarang al-Lu'lu' wa al-Marjan. h. 601
^

Senin, 24 Januari 2011

PRIORITAS ILMU ATAS AMAL

DI ANTARA pemberian prioritas yang dibenarkan oleh agama ialah prioritas  ilmu  atas  amal.  Ilmu  itu harus didahulukan atasamal, karena ilmu merupakan petunjuk  dan  pemberi  arah  amal yang  akan  dilakukan.  Dalam hadits Mu'adz disebutkan, "ilmu, itu pemimpin, dan amal adalah pengikutnya."

Oleh sebab itu, Imam Bukhari meletakkan satu bab tentang  ilmu dalam  Jami'  Shahih-nya,  dengan  judul  "Ilmu itu Mendahului Perkataan dan Perbuatan." Para pemberi syarah  atas  buku  ini menjelaskan  bahwa ilmu yang dimaksudkan dalam judul itu harus menjadi  syarat  bagi  ke-shahih-an  perkataan  dan  perbuatan seseorang.  Kedua hal itu tidak dianggap shahih kecuali dengan ilmu; sehingga ilmu itu  didahulukan  atas  keduanya.  Ilmulah yang  membenarkan  niat  dan  membetulkan  perbuatan yang akan dilakukan.  Mereka  mengatakan:  "Bukhari  ingin  mengingatkan orang  kepada  persoalan  ini,  sehingga  mereka  tidak  salah mengerti dengan pernyataan 'ilmu itu tidak bermanfaat  kecuali disertai  dengan  amal  yang pada gilirannya mereka meremehkan ilmu pengetahuan dan enggan mencarinya."

Bukhari mengemukakan  alasan  bagi  pernyataannya  itu  dengan mengemukakan sebagian ayat al-Qur'an dan hadits Nabi saw:

"Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas dosa orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan..." (Muhammad: 19)
Oleh karena itu,  Rasulullah  saw  pertama-tama  memerintahkan umatnya  untuk menguasai ilmu tauhid, baru kemudian memohonkan ampunan yang berupa amal perbuatan. Walaupun perintah di dalam ayat  itu  ditujukan  kepada  Nabi  saw,  tetapi ayat ini juga mencakup umatnya.

Dalil yang lainnya ialah ayat berikut ini:

"... Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama..." (Fathir: 28)

Ilmu pengetahuanlah yang menyebabkan rasa takut kepada  Allah, dan mendorong manusia kepada amal perbuatan.

Sementara   dalil   yang   berasal  dari  hadits  ialah  sabda Rasulullah saw:

"Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka dia akan diberi-Nya pemahaman tentang agamanya."2

Karena bila dia memahami ajaran agamanya,  dia  akan  beramal, dan melakukan amalan itu dengan baik.

Dalil   lain   yang   menunjukkan   kebenaran   tindakan  kita mendahulukan ilmu atas amal ialah bahwa ayat yang pertama kali diturunkan  ialah  "Bacalah."  Dan  membaca  ialah  kunci ilmu pengetahuan;  dan  setelah  itu  baru  diturunkan  ayat   yang berkaitan dengan kerja; sebagai berikut:

"Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah." (al-Muddatstsir: 1-4)

Sesungguhnya ilmu  pengetahuan  mesti  didahulukan  atas  amal perbuatan,  karena  ilmu  pengetahuanlah yang mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil dalam keyakinan umat  manusia; antara  yang  benar  dan yang salah di dalam perkataan mereka;antara perbuatan-perbuatan yang  disunatkan  dan  yang  bid'ah dalam  ibadah; antara yang benar dan yang tidak benar di dalam melakukan muamalah; antara tindakan yang  halal  dan  tindakan yang  haram; antara yang terpuji dan yang hina di dalam akhlak manusia; antara ukuran yang diterima dan ukuran yang  ditolak; antara  perbuatan  dan  perkataan  yang bisa diterima dan yang tidak dapat diterima.

Oleh sebab itu, kita seringkali menemukan ulama pendahulu kita yang   memulai   karangan   mereka  dengan  bab  tentang  ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang dilakukan oleh  Imam  al-Ghazali ketika menulis buku Ihya' 'Ulum al-Din; dan Minhaj al-'Abidin. Begitu pula yang dilakukan oleh al-Hafizh  al-Mundziri  dengan bukunya   at-Targhib   wat-Tarhib.   Setelah  dia  menyebutkan hadits-hadits tentang  niat,  keikhlasan,  mengikuti  petunjuk al-Qur'an  dan  sunnah  Nabi saw; baru dia menulis bab tentang ilmu pengetahuan.

Fiqh prioritas yang sedang kita perbincangkan  ini  dasar  dan porosnya  ialah ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan kita dapat mengetahui apa yang mesti didahulukan dan apa yang harus diakhirkan.  Tanpa ilmu pengetahuan kita akan kehilangan arah, dan melakukan tindakan yang tidak karuan.

Benarlah apa yang pernah diucapkan oleh khalifah Umar bin  Abd al-Aziz,  "Barangsiapa  melakukan  suatu  pekerjaan tanpa ilmu pengetahuan tentang itu maka apa yang dia rusak  lebih  banyak daripada apa yang dia perbaiki."3

Keadaan seperti ini tampak dengan jelas pada sebagian kelompok kaum Muslimin, yang tidak kurang kadar ketaqwaan,  keikhlasan, dan   semangatnya;   tetapi   mereka   tidak   mempunyai  ilmu pengetahuan,  pemahaman  terhadap  tujuan  ajaran  agama,  dan hakikat agama itu sendiri.

Seperti  itulah sifat kaum Khawarij yang memerangi Ali bin Abu Thalib r.a.  yang  banyak  memiliki  keutamaan  dan  sumbangan kepada  Islam,  serta  memiliki  kedudukan  yang  sangat dekat dengan Rasulullah  saw  dari  segi  nasab,  sekaligus  menantu beliau   yang  sangat  dicintai  oleh  beliau.  Kaum  Khawarij menghalalkan darahnya dan darah kaum Muslimin yang mendekatkan diri mereka kepada Allah SWT.

Mereka,   kaum   Khawarij   ini,   merupakan  kelanjutan  dari orang-orang yang pernah menentang pembagian harta yang  pernah dilakukan  oleh  Rasulullah  saw,  yang  berkata kepada beliau dengan kasar dan  penuh  kebodohan:  "Berbuat  adillah  engkau ini!"  Maka  beliau  bersabda, "Celaka engkau! Siapa lagi yang adil, apabila aku tidak bertindak adil. Kalau aku tidak  adil, maka engkau akan sia-sia dan merugi. "

Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Sesungguhnya perkataan kasar yang  disampaikan   kepada   Rasulullah   saw   ialah   'Wahai Rasulullah,  bertaqwalah engkau kepada Allah." Maka Rasulullah saw menyergah ucapan itu sambil berkat, "Bukankah aku penghuni bumi yang paling bertaqwa kepada Allah?"

Orang   yang  mengucapkan  perkataan  itu  sama  sekali  tidak memahami  siasat  Rasulullah  saw   untuk   menundukkan   hati orang-orang  yang  baru  masuk Islam, dan pengambilan berbagai kemaslahatan  besar  bagi  umatnya,  sebagaimana  yang   telahdisyari'ahkan  oleh Allah SWT dalam kitab suci-Nya. Rasulullah saw diberi hak untuk melakukan tindakan terhadap shadaqah yang diberikan  oleh  kaum  Muslimin.  Lalu bagaimana halnya dengan harta pampasan perang?

Ketika sebagian sahabat memohon  izin  kepada  Rasulullah  saw untuk   membunuh  para  pembangkang  itu,  beliau  yang  mulia melarangnya; kemudian memperingatkan mereka tentang  munculnya kelompok orang seperti itu dengan bersabda:

"Kalian akan meremehkan (kuantitas) shalat kalian dibandinglan dengan shalat yang mereka lakukan, meremehkan (kuantitas ) puasa kalian dibandingkan dengan puasa yang mereka lakukan; dan kalian akan meremehkan (kuantitas) amal kalian dibandingkan dengan amal mereka. Mereka membaca al-Qur'an tetapi tidak lebih dari kerongkongan mereka. Mereka menyimpang dari agama (ad-Din) bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya."

Makna ungkapan  "fidak lebih dari kerongkongan  mereka"  ialah bahwa  hati  mereka  tidak  memahami apa yang mereka baca, dan akal mereka  tidak  diterangi  dengan  bacaan  ayat-ayat  itu. Mereka  sama  sekali  tidak  memanfaatkan apa yang mereka baca itu, walaupun mereka banyak mendirikan  shalat  dan  melakukan puasa.

Di  antara  sifat  yang ditunjukkan oleh Nabi tentang kelompok itu ialah bahwa,

"Mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala."4

Kesalahan fatal yang dilakukan oleh mereka  bukanlah  terletak pada  perasaan  dan niat mereka, tetapi lebih berada pada akal pikiran  dan  pemahaman  mereka.  Oleh  karena   itu,   mereka dikatakan dalam hadits yang lain sebagai:

"Orang-orang muda yang memilih impian yang bodoh." 5

Mereka baru diberi sedikit ilmu pengetahuan, dengan  pemahaman yang  tidak  sempurna,  tetapi  mereka  tidak mau memanfaatkan kitab Allah padahal  mereka  membacanya  dengan  sangat  baik, tetapi  bacaan  yang  tidak disertai dengan pemahaman. Mungkin mereka memahaminya dengan  cara  yang  tidak  benar,  sehingga bertentangan  dengan  maksud  ayat  yang diturunkan oleh Allah SWT.

Oleh karena itu, Imam  Hasan  al-Bashri  memperingatkan  orang yang  tekun beribadah dan beramal, tetapi tidak membentenginya dengan  ilmu  pengetahuan  dan  pemahaman.   Dia   mengucapkan perkataan yang sangat dalam artinya,

"Orang yang beramal tetapi tidak disertai dengan ilmu pengetahuan tentang itu, bagaikan orang yang melangkahkan kaki tetapi tidak meniti jalan yang benar. Orang yang melakukan sesuatu tetapi tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu, maka dia akan membuat kerusakan yang lebih banyak daripada perbaikan yang dilakukan. Carilah ilmu selama ia tidak mengganggu ibadah yang engkau lakukan. Dan beribadahlah selama ibadah itu tidak mengganggu pencarian ilmu pengetahuan. Karena ada sebagian kaum Muslimin yang melakukan ibadah, tetapi mereka meninggalkan ilmu pengetahuan, sehingga mereka keluar dengan pedang mereka untuk membunuh umat Muhammad saw. Kalau mereka mau mencari ilmu pengetahuan, niscaya mereka tidak akan melakukan seperti apa yang mereka lakukan itu."6

ILMU MERUPAKAN SYARAT BAGI PROFESI KEPEMIMPINAN (POLITIK, MILITER, DAN KEHAKIMAN)
Dari uraian tersebut dapat dikatakan  bahwa  ilmu  pengetahuan merupakan  syarat  bagi semua profesi kepemimpinan, baik dalam bidang politik maupun administrasi. Sebagaimana yang dilakukan oleh Yusuf as ketika berkata kepada Raja Mesir:

" ... sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami." Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan." (Yusuf: 54-55)

Yusuf as menunjukkan keahliannya dalam  pekerjaan  besar  yang ditawarkan   kepadanya,  yang  mencakup  pengurusan  keuangan, ekonomi, perancangan, pertanian, dan logistik pada waktu  itu. Yang  terkandung  di  dalam  keahlian  itu  ada dua hal; yakni penjagaan (yang lebih tepat dikatakan  "kejujuran")  dan  ilmu pengetahuan  (yang  dimaksudkan  di  sini ialah pengalaman dan kemampuan). Kenyataan itu sesuai  dengan  apa  yang  dikatakan oleh  salah  seorang  anak  perempuan  Nabi  besar dalam surah al-Qashash:

"... karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (al-Qashash: 26)

Ia juga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam  dunia  militer; sebagaimana  difirmankan  oleh  Allah  SWT  ketika  memberikan alasan bagi pemilihan Thalut sebagai raja atas bani Israil:

"... Nabi (mereka) berkata, "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu pengetahuan yang luas dan tubuh yang perkasa..." (al-Baqarah, 247)

Pedoman  itu  juga   sepatutnya   diberlakukan   dalam   dunia kehakiman,  sehingga  orang-orang yang hendak diangkat menjadi hakim  diharuskan  memenuhi   syarat   seperti   syarat   yang diberlakukan  bagi  orang  yang hendak menjadi khalifah. Untuk menjadi hakim itu tidak cukup hanya dengan menyandang  sebagai ulama   yang  bertaqlid  kepada  ulama  lainnya.  Karena  pada dasarnya, ilmu pengetahuan  merupakan  kebenaran  itu  sendiri dengan  berbagai  dalilnya,  dan  bukan  ilmu pengetahuan yang diberitahukan oleh Zaid atau Amr. Orang-orang  yang  bertaqlid kepada  manusia yang lainnya tanpa ada alasan yang membenarkan tindakannya, atau ada  alasannya  tetapi  sangat  lemah,  maka orang itu dianggap tidak mempunyai ilmu pengetahuan.

Keputusan  hukum  yang  diterima  dari  orang  yang  melakukan taqlid, adalah sama dengan kekuasaan yang dilakukan oleh orang yang  tidak  mempunyai  ilmu pengetahuan, yang sangat penting. Akan tetapi ada batasan-batasan tertentu dan minimal bagi ilmu pengetahuan  yang  mesti  dikuasai oleh hakim itu. Jika tidak, maka dia akan membuat keputusan  hukum  berdasarkan  kebodohan dan akan menjadikannya sebagai penghuni neraka.

Dalam  sebuah  hadits  yang  diriwayatkan  oleh  Buraidah dari Rasulullah saw bersabda,

"Ada tiga golongan hakim. Dua golongan berada di neraka, dan satu golongan lagi berada di surga. Yaitu seorang yang mengetahui kebenaran kemudian dia membuat keputusan hukum dengan kebenaran itu, maka dia berada di surga. Seorang yang memberikan keputusan hukum yang didasarkan atas kebodohannya, maka dia berada dineraka. Kemudian seorang yang mengetahui kebenaran tetapi dia melakukan kezaliman dalam membuat keputusan hukum, maka dia berada di neraka."7

PENTINGNYA ILMU PENGETAHUAN BAGI MUFTI (PEMBERI FATWA)
Persoalan yang serupa dengan kehakiman ialah pemberian  fatwa. Seseorang  tidak boleh memberikan fatwa kepada manusia kecuali dia  seorang  yang  betul-betul  ahli  dalam  bidangnya,   dan memahami   ajaran   agamanya.   Jika   tidak,  maka  dia  akan mengharamkan yang halal dan menghalalkan hal-hal  yang  haram; menggugurkan  kewajiban,  mewajibkan sesuatu yang tidak wajib, menetapkan hal-hal yang bid'ah dan membid'ahkan  hal-hal  yang disyariahkan;   mengkafirkan   orang-orang  yang  beriman  dan membenarkan  orang-orang  kafir.  Semua  persoalan  itu,  atau sebagiannya,  terjadi  karena ketiadaan ilmu dan fiqh. Apalagi bila hal itu disertai dengan keberanian yang sangat berlebihan dalam  memberikan  fatwa,  serta melanggar larangan bagi siapa yang mau melakukannya. Hal ini dapat  kita  lihat  pada  zaman kita  sekarang  ini, di mana urusan agama telah menjadi barang santapan yang empuk bagi siapa  saja  yang  mau  menyantapnya; asal memiliki kemahiran dalam berpidato, keterampilan menulis; padahal al-Qur'an, sunnah Nabi  saw,  dan  generasi  terdahulu umat  ini sangat berhati-hati dalam menjaga hal ini. Tidak ada orang yang berani melakukan hal itu kecuali  orang-orang  yang benar-benar  mempunyai  keahlian  di  dalam  bidangnya,  serta memenuhi  syarat  untuk  persoalan  tersebut.   Betapa   sulit sebenarnya untuk memenuhi syarat-syarat itu.

Sebenarnya  Nabi  saw  sangat  tidak  suka  kepada  orang yang tergesa-gesa memberikan  fatwa  pada  zamannya.  Ada  sebagian orang  yang  memberikan  fatwa  kepada salah seorang di antara mereka yang terluka  ketika  mereka  berjinabat  untuk  mandi, tanpa  mempedulikan  luka  yang  dideritanya. Sehingga hal itu menyebabkan kematiannya. Maka Rasulullah saw bersabda,

"Karena mereka telah membunuhnya, maka semoga Allah akan membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya apabila mereka tidak tahu. Sebenarnya kalau mereka mau bertanya, maka orang itu bisa sembuh. Sebenarnya bagi orang seperti itu hanya cukup bertayammum saja..." 8

Lihatlah bagaimana Rasulullah saw menganggap bahwa fatwa  yang diberikan  oleh  mereka  sama dengan pembunuhan terhadap orang tersebut, sehingga beliau mendoakan mereka, "Semoga Allah juga membunuh  mereka."  Oleh  karena  itu,  fatwa yang keluar dari kebodohan dapat membunuh jiwa dan membawa kerusakan. Dan  pada akhirnya,  Ibn  al-Qayyim dan ulama yang lainnya sepakat untuk mengharamkan pemberian fatwa dalam urusan agama tanpa disertai dengan ilmu pengetahuan; berdasarkan firman Allah SWT:

"... dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (al-A'raf: 33)

Banyak sekali hadits, qaul  sahabat,  dan  generasi  terdahulu umat  ini  yang melarang pemberian fatwa bagi orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan.

Ibn Sirin berkata, "Seorang lelaki  yang  mati  dalam  keadaan bodoh  itu  lebih baik daripada dia mati dalam keadaan berkata tentang sesuatu yang  dia  tidak  mempunyai  ilmu  pengetahuan tentang itu."

Abu Hushain al-Asy'ari berkata, "Sesungguhnya salah seorang di antara mereka ada yang memberi fatwa dalam suatu masalah. Jika hal  ini  berlaku  pada zaman Umar, maka dia akan mengumpulkan para pejuang Perang Badar."

Lalu, bagaimana bila Umar melihat keberanian orang pada  zaman
kita sekarang ini?

Ibn  Mas'ud dan Ibn 'Abbas berkata, "Barangsiapa memberi fatwa kepada orang ramai  tentang  apa  saja  yang  mereka  tanyakan kepadanya, maka dia termasuk orang gila."

Abu  Bakar  berkata,  "kangit  mana yang melindungi diriku dan bumi mana  yang  akan  menjadi  tempat  pijakanku,  kalau  aku mengatakan sesuatu yang tidak kuketahui."

Ali    berkata,    "Hatiku   menjadi   sangat   tenang   --dia mengucapkannya sebanyak tiga kali-- bila  ada  seorang  lelaki yang  ditanya  tentang  sesuatu  yang  dia ketahui, tetapi dia tetap mengatakan, 'Allah yang Maha Tahu.'"

Ibn al-Musayyab, tokoh  senior  tabi'in,  apabila  dia  hendak memberikan  fatwa  dia berkata, "Ya Allah, selamatkan aku, dan benarkan apa yang keluar dari diriku."

Semua ini menunjukkan bahwa  kita  perlu  sangat  berhati-hati dalam memberikan fatwa. Selain itu, fatwa harus diberikan oleh orang-orang  yang  betul-betul  memiliki   ilmu   pengetahuan, wawasan  yang  luas,  wara',  yang  menjaga  diri  dari setiap kemaksiatan, tidak menuruti hawa nafsunya  sendiri  atau  hawa nafsu orang lain.

Atas  dasar  uraian tersebut, sangatlah mengherankan bila para pelajar ilmu syariah --kebanyakan pelajar yang baru masuk pada fakultas  ini--  tergesa  gesa memberikan fatwa dalam berbagai persoalan yang sangat pelik,  problema  yang  sangat  penting, mendahului  para ulama besar, dan bahkan berani menentang para imam  mazhab  besar,   para   sahabat   yang   mulia,   dengan menyombongkan  diri  seraya  mengatakan, "Mereka orang lelaki, dan kamipun orang lelaki."

Pertama-tama  yang  diperlukan  oleh  seseorang  yang   hendak memberikan  fatwa  ialah  mengukur  kemampuan dirinya sendiri, kemudian memahami berbagai tujuan syari'ah,  memahami  hakikat dan  kenyataan  hidup.  Akan  tetapi,sangat  disayangkan bahwa mereka tertutup  oleh  penghalang  yang  sangat  besar,  yaitu ketertipuan  dengan  diri  mereka  sendiri. Sesungguhnya tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah SWT.

PENTINGNYA ILMU PENGETAHUAN BAGI DA'I DAN GURU (MUROBI)
Jika ilmu pengetahuan harus dimiliki oleh orang yang  bergelut dalam dunia kehakiman dan fatwa, maka dia juga diperlukan oleh dunia da'wah dan pendidikan. Allah SWT berfirman:

"Katakanlah: "Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata..." (Yusuf: 108)

Setiap juru da'wah --dari pengikut Nabi saw-- harus  melandasi da'wahnya  dengan  hujjah  yang  nyata.  Artinya,  da'wah yang dilakukan   olehnya   mesti    jelas,    berdasarkan    kepada hujjah-hujjah  yang  jelas  pula.  Dia  harus  mengetahui akan dibawa ke mana orang yang dida'wahi olehnya?  Siapa  yang  dia ajak? Dan bagaimana cara dia berda'wah?

Oleh  karena  itu, mereka berkata tentang orang rabbani: yaitu orang  yang  berilmu,  beramal,   dan   mengajarkan   ilmunya; sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah SWT:

"... akan tetapi (dia) berkata, 'Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (yang sempurna ilmu dan taqwanya kepada Allah), karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu telah mempelajarinya." (Ali 'Imran: 79)

Ibn Abbas memberikan penafsiran atas  kata  "rabbani"  sebagai para ahli hikmah sekaligus fuqaha.9

Ada  yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan rabbani ialah orang yang mengajar manusia dengan ilmu kecilnya sebelum  ilmu itu menjadi besar.

Yang  dimaksud dengan ilmu kecil ialah ilmu yang sederhana dan persoalannya jelas.  Sedangkan  ilmu  besar  ialah  ilmu  yang pelik-pelik.  Ada  pula  yang  mengatakan  bahwa rabbani ialah orang  yang  mengajarkan  ilmu-ilmu   yang   parsial   sebelum ilmu-ilmu   yang  universal,  atau  ilmu-ilmu  cabang  sebelum ilmu-ilmu yang pokok, ilmu-ilmu  pengantar  sebelum  ilmu-ilmu yang inti.10

Yang  dimaksudkan dengan pernyataan itu ialah bahwa pengajaran itu dilakukan secara bertahap,  dengan  memperhatikan  kondisi dan   kemampuan   orang   yang   diajarnya,   sehingga   dapat ditingkatkan sedikit demi sedikit.

Persoalan yang perlu diperhatikan  oleh  orang  yang  bergerak dalam bidang da'wah dan pendidikan ialah bahwa juru da'wah dan pendidik itu mesti mengambil jalan yang paling mudah dan bukan jalan   yang   susah;   memberikan  kabar  gembira  dan  tidak menakut-nakuti mereka;  sebagaimana  disebutkan  dalam  sebuah hadits   yang  disepakati  ke-shahih-annya  oleh  Bukhari  dan Muslim,

"Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari."11

Al-Hafizh ketika memberikan  penjelasan  terhadap  hadits  ini mengatakan,

"Yang dimaksudkan dengan hal ini ialah menarik simpati hati orang yang hampir dekat dengan Islam, dan tidak melakukan da'wah dengan cara yang keras dan kasar pada awal mula kegiatan da'wah itu. Begitu pula hendaknya kecaman terhadap orang yang suka melakukan kemaksiatan. Kecaman itu hendaknya dilakukan secara bertahap. Karena sesungguhnya sesuatu yang pada tahap awalnya dapat dilakukan dengan mudah, maka orang akan bertambah senang untuk memasukinya dengan hati yang lapang. Pada akhirnya, dia akan bertambah baik sedikit demi sedikit. Berbeda dengan cara berda'wah yang dilakukan dengan keras dan kasar." 12

Yang  dimaksudkan  dengan  perkataan  ,mempermudah,  di   situ bukanlah  terbatas  pada orang-orang yang hampir dekat hatinya dengan Islam,  sebagaimana  yang  dijelaskan  oleh  al-Hafizh, tetapi   ia   berlaku   lebih   umum  dan  permanen.  Misalnya mempermudah jalan bagi orang  yang  hendak  melakukan  taubat, atau  kepada  setiap orang yang memerlukan keringanan; seperti orang yang sakit atau  sudah  tua  usianya,  atau  orang  yang berada di dalam keadaan yang mendesak.

Di  antara  keharusan  yang  berlaku di dalam ilmu pengetahuan ialah upaya untuk mencari  ilmu-ilmu  agama  sejauh  kemampuan yang  dimiliki  oleh  seseorang, sesuai dengan kadar kemampuan otaknya untuk menerima ilmu pengetahuan  tersebut.  Dia  tidak boleh   mengucapkan  sesuatu  yang  tidak  cocok  dengan  akal pikirannya, sehingga hal itu  malah  berbalik  menjadi  fitnah bagi dirinya dan juga kepada orang lain. Sehubungan dengan hal ini Ali r.a.  berkata,  "Berbicaralah  kepada  manusia  sesuai dengan  kadar  pengetahuan  mereka.  Tinggalkan apa yang tidak cocok dengan akal pikiran mereka.  Apakah  engkau  menghendaki mereka  mengatakan  sesuatu  yang  bohong  terhadap  Allah dan rasul-Nya?" 13

Ibn Mas'ud r.a.  berkata,  "Engkau  tidak  layak  menyampaikan sesuatu  yang tidak sesuai dengan kadar kemampuan otak mereka. Jika tidak, maka engkau akan menimbulkan fitnah pada  sebagian orang itu."14.

Catatan Kaki:
1 Diriwayatkan oleh Ibn 'Abd al-Barr dan lainnya dari Mu'adz, sebagai hadits marfu' dan mauquf, tetapi hadits ini lebih benar digolongkan kepada hadits mauquf. ^
2 Baca, Shahih al-Bukhari dan Fath al-Bari, 1:158-162, cet. Dar al-Fikr yang disalin dari naskah lama.^
3 Baca Jami' Bayan al-'Ilm wa Fadhlih, karangan Ibn 'Abd al-Barr, 1:27, cet. Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah^
4 Lihatlah sifat-sifat mereka dalam buku al-Lu'lu' wa al-Marjan fima Ittafaqa 'alaih al-Syaikhani, khususnya hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Jabir,  Abu Sa'id,  Ali, dan Sahal bin Hunaif (638-644).^
5 Hadits Ali, Ibid.^
6 Ucapan ini dikutip oleh Ibn Hazm dalam bukunya, Miftah Dar al-Sa'adah,  h. 82^
7 Diriwayatkan oleh para penulis Sunan Arba'ah dan al-Hakim; sebagai mana diriwayatkan oleh Thabrani dan Abu Ya'la, dan Baihaqi dari Ibn Umar; seperti yang dimuat di dalam al-Jami' as-Shaghir. (4446) dan (4447).^
8 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir, dan diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim dari Ibn 'Abbas. Lihat Shahih al-Jami' as-Shaghir (4362) dan (4363).^
9 Hal ini disebutkan oleh Bukhari ketika memberikan komentar pada bab "Ilmu" dalam Shahih-nya. Al-Hafizh berkata dalam Fath-nya, "Hadits ini sampai Ibn Abi 'Ashim dengan isnad hasan. Dan juga diriwayatkan oleh al-Khathib dengan isnad hasan yang berbeda." 1: 161^
10 al-Fath, 1: 162`^
11 Diriwayatkan oleh al-Syaikhani dari Anas, sebagaimana disebutkan di dalam al-Lu'lu' wa al-Marjan^
12 al-Fath, 1: 163^
13 Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab al-'Ilm, secara mauquf atas Ali r.a. (Lihar al-Fath. 1 225)^
14 Diriwayatkan oleh Muslim dalam mukadimah as-Shahih secara mauquf atas Ibn Mas'ud. Ibid.
^
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com