Ibnu Qoyyim menjelaskan makna jihad dengan ringkas dalam bukunya: Zaadul-Ma’ad pada sub bahasan “Sikap Rasulullah SAW Terhadap Orang Kafir dan Munafik Sejak Masa Kenabian Sampai Wafat”. “Wahyu Allah pertama kepada Nabi Muhammad adalah (Iqra’ Bismi robbika-L-Ladzi Kholaq), sebuah perintah untuk membaca dan belum diperintah tabligh (menyampaikan). Kemudian turun ayat (Yaa Ayyuhal Muddatsir Qum Faandzir) yakni perintah Allah untuk menyampaikan risalah. Allah memerintahkan Nabi untuk berdakwah kepada famili dan kerabat terdekat, kemudian berdakwah kepada kaumnya serta akhirnya kepada seluruh manusia di dunia. Dalam masa 10 tahun, Nabi melaksanakan dakwah tanpa pertumpahan darah dan tanpa memungut jizyah. Beliau diperintahkan untuk menahan diri dari peperangan. Hingga kemudian tiba masa diizinkan berhijrah dan akhirnya diizinkan berperang. Namun Izin perang pun pertama kali diberikan sebatas memerangi orang-orang yang menyerang. Kemudian turun izin memerangi orang-orang yang menolak dakwah agar Allah memenangkan agamaNya.
Ibnu Qoyyim melanjutkan keterangannya: Setelah turun wahyu tentang perintah perang, orang-orang kafir pun menjadi terbagi tiga: Golongan yang berdamai dan dalam perjanjian dengan Umat Islam, kedua : Golongan yang memerangi (muharib) dan ketiga : Golongan Ahlu adz-Dzimmah ( Dalam komunitas muslim dan siap membayar jizyah). Kepada mereka yang dalam perjanjian dan perdamaian, sikap umat Islam adalah menepati janji dan tetap dalam perdamaian selama mereka setia terhadap perjanjian tersebut. Jika dikhawatirkan mereka berkhianat maka perjanjian boleh dihentikan, tetapi tetap tidak boleh memerangi mereka. Kecuali setelah dilakukan klarifikasi terhadap pengkhianatan mereka, maka barulah dibolehkan memerangi mereka, sebagaimana penjelasan Allah dalam surat at-Taubah yang maksudnya: Diperintahkan memerangi ahlul-Kitab sehingga mereka memilih satu dari dua alternatif, membayar Jizyah atau menerima Islam. Karena Allah telah memerintahkan memerangi orang-orang kafir dan munafik serta bersikap tegas kepada mereka, maka Nabi Muhammad SAW pun melakukan jihad melawan orang-orang Kafir dengan pedang dan kekuatan serta dengan argumentasi kuat terhadap orang-orang munafik.
Jihad berasal dari akar kata bahasa Arab ( Jahada ), berarti mengerahkan segenap potensi dengan ucapan dan tindakan. Di antara pecahan kata dari kata jihad adalah mujahadah ( optimalisasi amal shalih ), jahdun ( kerja keras) dan juhdun ( usaha ).
Secara terminologis jihad berarti memerangi orang kafir dan sebangsanya dengan memukulnya, merampas hartanya, membunuhnya atau menghancurkan berhala-berhalanya dsb. Kesemuanya itu dilakukan dalam rangka membela Islam untuk meraih ridho Allah SWT. Maka terminologi Jihad biasa dikaitkan dengan Fi Sabilillah.
Abdullah ibnu Abbas mengatakan: Jihad adalah mengoptimalkan potensi di jalan Allah dengan tanpa rasa takut sedikitpun dari cemoohan dan ejekan orang lain.
Al-Muqatil berkata: Jihad adalah bekerja untuk Allah dengan sungguh-sungguh dan beribadah kepadaNya dengan sebenar-benarnya.
Abdullah bin al-Mubarak berkata: Memerangi hawa nafsu termasuk jihad.
DR. Said Ramadhan al-Buthi juga menjelaskan, bahwa berjihad adalah optimalisasi upaya dalam rangka meninggikan Kalimat Allah. Perang di Jalan Allah adalah bentuk jihad tertinggi untuk memenangkan agama Allah dan melaksanakan hukum-hukumNya secara total.
Kedudukan Jihad.
Jihad dalam Islam menempati kedudukan yang sangat tinggi, sebagaimana penjelasan Nabi Muhammad SAW, bahwa jihad adalah Dzarwatu Sinam al-Islam ( Puncak Ajaran Islam ).
Allah SWT berfirman :
( انفروا خفافا وثقالا وجاهدوا بأموالكم وأنفسكم في سبيل الله ذلكم خير لكم إن كنتم تعلمون )
Berangkatlah (berperang) dalam keadaan ringan atau berat dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah, hal demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. ( QS at-Taubah: 41 ).
FirmanNya yang lain artinya: Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka, ( dengan balasan ) bagi mereka Syurga…….(QS. At-Taubah: 111).
FirmanNya yang lain artinya: Sesungguhnya orang beriman yaitu mereka yang mengimani Allah dan RasulNya, tanpa keraguan sedikitpun, serta berjihad dengan harta dan diri mereka di Jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang yang benar (keimanannya) –QS al-Hujurat: 15.
Dalam ayat-ayat tersebut di atas jihad di samping merupakan perintah Allah SWT, ia juga merupakan amalan yang memberikan pencerahan dalam kehidupan di dunia berupa izzah ( harga diri ), soliditas komitmen terhadap keimanan, dan di akhirat Allah akan mengizinkan para mujahidin untuk memasuki Syurganya.
Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Ditanyakan kepada Rasulullah SAW: Wahai Rasulullah, amalan apa yang menyamai Jihad di jalan Allah ? Nabi berkata: Tidak ada. ( Nabi menjawab seperti itu setiap ditanya pertanyaan tersebut ) Kemudian beliau bersabda: Perumpamaan Mujahid di jalan Allah seperti orang yang berpuasa dan melakukan qiyam dengan melantunkan ayat-ayat Allah tanpa jenuh dan bosan, sampai mujahid tersebut pulang dari berjihad (HR. Bukhari Muslim).
Abu Hurairah menceritakan seorang Shahabat Rasulullah SAW melewati sebuah dusun yang di dalamnya terdapat mata air yang jernih dan menakjubkan. Ketika dikatakan kepadanya: Tidakkah Anda tinggal di tempat itu (untuk beribadah) ? Ia berkata: Oh tidak, sampai aku minta izin kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda kepada para Shahabat: Jangan kalian lakukan itu, karena posisi seorang dari kamu di jalan Allah jauh lebih baik dari shalat di rumahnya selama 70 (tujuh puluh) tahun, Bukankah kalian mengharapkan maghfirah Allah dan SyurgaNya ? Berperanglah di jalan Allah, Barang siapa yang berperang di jalan Allah lebih dari dua kali, niscaya ia akan memperoleh Syurga (HR Imam Tirmizi ).
Hukum Jihad.
Empat mazhab besar sepakat tentang hukum kewajiban berjihad adalah antara wajib kifayah dan wajib ain.
Ø Mazhab Hanafi: Jihad adalah fardhu kifayah, artinya, wajib bagi kita untuk memulai memerangi orang-orang kafir setelah sampai kewajiban berdakwah meskipun mereka tidak memerangi kita. Imam wajib mengirimkan pasukan ke darul Harb setahun sekali ( atau dua kali) dan masyarakat wajib membantunya. Jika sebagian dari mereka telah menunaikannya, maka gugur kewajibannya bagi yang lainnya. Jika dengan sebagian tersebut ternyata belum mencukupi, maka wajib bagi sebagian yang terdekat dan terdekat berikutnya. Jika tidak mungkin mencukupi kecuali dengan seluruh masyarakat, maka ketika itulah hukum jihad menjadi fardhu ain sebagaimana halnya shalat.
( Kitab Majmu’ul Anhar Fi Syarhi Multaqal Akhbar ).
Ø Mazhab Maliki: Jihad di jalan Allah demi meninggikan KalimahNya setiap tahun adalah fardhu kifayah; jika sebagian sudah menunaikan, maka sebagian yang lain gugur kewajibannya. Ia menjadi fardhu ain (sebagaimana wajibnya shalat dan puasa) dengan penetapan dari Imam dan bila ada serangan musuh di tengah kaum. Ia ditetapkan wajibnya untuk kaum tersebut dan kemudian kepada masyarakat yang terdekat jika tidak mampu menghadapinya. Pada kondisi ini ditetapkan pula kewajiban jihad untuk wanita dan budak meskipun tidak diizinkan oleh suami dan majikannya . Juga ditetapkan atas pemilik hutang tanpa seizin penghutangnya. Sebagaimana ditetapkan wajibnya atas orang yang bernazar. Orang tua hanya boleh menghalangi anaknya dalam kondisi fardhu kifayah ( Kitab Bulghatus Salik Liaqrabil Masalik Fi Mazahibil Imam Malik ).
Ø Mazhab Syafi’I : Jihad pada masa Rasulullah SAW adalah fardhu kifayah namun sekaligus dikatakan juga fardhu ain. Adapun masa setelahnya, ada dua kondisi : Pertama: Jika orang-orang kafir berada di negerinya sendiri, jihad hukumnya fardhu kifayah; jika sudah ada dari kaum muslimin yang menunaikan dan mencukupinya, gugurlah kewajiban ini dari yang lain. Kedua: jika mereka masuk ke negeri kita, maka wajib bagi setiap warga yang mampu untuk mempertahankannya. Jika kondisi mengharuskan adanya peperangan, wajib bagi yang mampu untuk melakukannya, meskipun mereka kaum fakir miskin, anak dan penghutang, tanpa perlu meminta izin kepada siapapun ( al-Manhaj karangan Imam Nawawi ).
Ø Mazhab Hambali: Jihad adalah fardhu kifayah; jika sebagian telah melakukannya maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. Dan ditetapkan keputusan selanjutnya dalam tiga keadaan: Pertama Jika kedua pasukan telah berhadapan maka haram bagi orang yang hadir di tempat untuk lari. Wajib baginya berperang. Kedua: Jika orang-orang kafir masuk dalam suatu negeri, maka diwajibkan kepada warganya untuk mempertahankan dan memerangi. Ketiga: Jika imam meminta masyarakat untuk maju berperang, maka wajib bagi mereka memenuhi panggilan ini bersamanya. Jihad dilakukan minimal setahun sekali.
Demikian jelas dan tegas konsensus para imam mazhab besar tentang hukum Jihad di jalan Allah. Kesepakatan tersebut bukan sekadar pernyataan tanpa alasan atau dalil dari al-Qur’an, hadits atau atsar dari para Shahabat Rasulullah SAW. Sekian banyak naskah-naskah syar’i yang menegaskan kewajiban berjihad.
Kondisi umat Islam masa kini mengundang sikap “Rekonstruksi Makna Jihad”, karena mereka kini dalam keadaan mengenaskan, mereka dihinakan dan dijajah pemikirannya. Islam dipandang sebagai agama parsial, disingkirkan dari kehidupan dan prinsip ajaran Jihad pun sering jadi bulan-bulanan mereka.
Untuk mengembalikan keadaan umat Islam dari keterpurukan mentalitas beragama dan mulai melakukan sikap ofensif terhadap serangan-serangan musuh-musuh Islam, baik dalam invasi pemikiran, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun invasi militer, tidak ada jalan selain dengan berjihad fi sabilillah.
Firman Allah SWT :
( Hai orang-orang beriman, barangsiapa di antara kamu murtad dari agamanya, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah cintai dan mereka pun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap sessama saudara seiman dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir, berjihad di jalan Allah dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela (QS Al-Maidah: 54).
Risalah Jihad 2 .
JIHAD DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN & HADITS
( Kajian Naskah-naskah Tentang Jihad )
Mari kita kaji dan telaah naskah-naskah tersebut, semoga semakin dalam keyakinan kita terhadap kewajiban berjihad sebagaimana yang disepakati para ulama kita terdahulu.
& Ayat-ayat al-Qur’an:
QS. Al-Baqarah: 216, artinya:
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Dan bisa jadi kami membenci sesuatu padahal sesuatu itu baik bagimu. Dan bisa jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal sesuatu itu buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Kata “ kutiba “ menjelaskan bahwa jihad adalah berstatus hukum wajib, seperti dalam ayat shaum, sebab (kutiba) berarti (furidha) yaitu: diwajibkan. Secara fitrah manusia, setiap kita membenci peperangan, tetapi jika ada perintah Allah atas kita, apapun yang terjadi dan dalam setiap kondisi kita wajib melaksanakan perintah tersebut. Sebab Allah Maha Mengetahui atas perintahNya dan Maha Adil Bijaksana atas segala keputusanNya.
QS. Ali Imran: 156-157.
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orng munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka apabila mereka mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang “Kalau mereka tetap bersama kita, tentu mereka tidak mati dan tidak akan dibunuh”. Akibat (dari perkatan dan keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan. Sungguh kalau kamu gugur di jalan Allah atau meninggal, tentulah ampunan Allah dan rahmatNya lebih baik bagimu dari harta rampasan yang mereka kumpulkan. Dan sungguh jika kami meninggal atau gugur tentulah kepada Allah kamu semua dikumpulkan”.
Pada ayat tersebut di atas dijelaskan, bahwa “pengecut” bukanlah sifat orang beriman, pengecut adalah sifat orang-orang kafir dan munafik. Selain pengecut mereka juga memiliki sifat “opportunis”; jika perjalanan menyenangkan dan menghasilkan (materi) mereka akan ikut bersama umat Islam, jika tidak menyenangkan mereka menolak ikut serta dalam aktifitas perjuangan.
Dalam ayat tersebut juga dijelaskan, bahwa rahmat dan maghfirah Allah SWT diraih oleh mereka yang gugur dalam berjihad. Selain pahala yang besar yang dijanjikan Allah SWT ( baca QS an-Nisa: 74).
QS. At-Taubah: 29.
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu orang yang telah diberi al-Kitab, sampai mereka mau membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”.
Secara umum surat at-Taubah bertemakan Jihad Fi Sabilillah, berjuang di jalan Allah SWT, perintah Allah untuk berperang di jalanNya, dalam rangka meninggikan agamaNya di muka bumi. Hanya orang-orang munafik yang enggan dan menolak perjalanan jihad, sedangkan orang-orang kafir menolak hukum dan tidak mengimaninya.
Jihad adalah tugas suci dan jalan hidup para salafus shalih, dilakukan dengan ihsan oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Karenanya, Jihad juga menjadi tugas dan jalan hidup setiap orang beriman kepada Allah dan RasulNya ( at-Taubah: 88-89), sebagaimana Jihad adalah jual beli antara mukmin dengan Allah, jual beli yang tidak dapat ditawat-tawar lagi dengan berbagai alasan.
Karena saratnya bahasan Jihad dalam surat at-Taubah, maka ia juga disebut surat al-Bara’ah ( terlepas), sebab Jihad merupakan sikap pembeda antara mukmin dan non mukmin ( kafir dan munafik), artinya setiap mukmin sejati hendaknya terus berjuang di jalan Allah dengan semangat Bara’ah (melepaskan diri) dari syetan dan para tentaranya serta para penyebar kebatilan.
Demikian ajaran Jihad termaktub dalam surat al-Anfal, yang dinamakan seluruhnya dengan ayat-ayat qital ( perang ), karena di dalamnya terdapat penjelasan Jihad secara luas, hukumnya, adab-adabnya, karakter mujahidin, sikap orang-orang munafik dll. Sehingga ayat-ayat ini senantiasa dilantunkan saat para mujahidin berlaga di medan perang melawan orang-orang kafir, untuk membangkitkan semangat juang orang beriman dan menambah kedekatannya dengan Allah SWT di dalam meraih syahid.
& Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW :
Hadits riwayat Bukhari Muslim dari Abu Hurairah :
Demi Dzat yang diriku ada di tanganNya, kalau bukan karena beberapa orang dari kalangan mukminin, yang jelek mentalnya dan tidak ikut berjihad bersamaku lalu aku tidak mendapati cara untuk mendorongnya, niscaya aku tidak ketinggalan dari satupun peperangan di jalan Allah. Demi Dzat yang diriku ada di tanganNya, saya sungguh ingin terbunuh di jalan Allah kemudian hidup lagi, kemudian terbunuh dan hidup lagi, kemudian terbunuh dan hidup lagi, kemudian terbunuh”.
Nikmatnya iman tidak dapat dirasakan selain oleh yang memiliki kedalaman iman, keimanan yang tumbuh dari rasa cinta dan ridha yang dalam; sehingga keletihan terasa hiburan, kesusahan dirasa kelezatan. Peperangan yang membutuhkan energi dan tenaga ternyata dirasakan oleh para mujahidin sebagai sebuah kenikmatan. Digambarkan oleh Rasulullah SAW keinginan mereka untuk hidup mati yang berulang kali dan akhirnya meraih mati syahid.
Hadits Riwayat Bukhari Muslim, Abu Daud dan Tirmizi dari Zaid bin Khalid:
Barang siapa menyiapkan kendaraan perang di jalan Allah berarti ia telah ikut berperang, dan barang siapa meninggalkan perang tetapi menggantikannya dengan kebaikan berarti ia pun telah ikut berperang”.
Ternyata banyak jalan menuju syurga, banyak bentuk-bentuk jihad. Menyiapkan sarana dan prasarana perang juga termasuk jihad ( jihad mali ), melakukan kebaikan karena tidak / belum bisa berjihad itupun merupakan bentuk jihad. Bukan berarti semua amalan tersebut sama dalam pandangan Allah SWT. Tentunya berjihad dalam arti perang di jalan Allah untuk meninggikan agama Allah adalah amalan tertinggi, namun kita juga tidak boleh menafikan bentuk-bentuk jihad lain seperti, jihad siyasi (politik), jihad iqtishodi (ekonomi), jihad lisan, jihad qolam (menulis), jihad taklimi dsb, khususnya pada era globalisasi dan teknologi, dimana perang syaraf dan perang pemikiran, perang budaya dan peradaban, merupakan bentuk-bentuk peperangan yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam. Seyogyanya umat Islam perhatian kepada bentuk-bentuk jihad tersebut.
Hadits Riwayat Abu Daud, Nasai dan Tirmizi dari Sahl bin Hunaif r.a :
“Barangsiapa meminta kepada Allah syahadah (mati syahid) dengan hati yang tulus, maka Allah akan menyampaikannya di kedudukan para syuhada, meskipun ia mati di tempat tidurnya”.
Senada dengan hadits tersebut, Imam Muslim meriwayatkan dari shahabat Anas r.a. : “Barangsiapa memohon syahadah dengan jujur, maka akan dianugrahkan (syahadah itu), walaupun ia tidak memperolehnya (tidak mati di medan perang).
Seorang Da’I Mujahid mengajarkan do’a kepada kita “Wa amitha ‘alasy-syahadati Fi Sabilik” ( ya Allah matikanlah jiwa ini dengan meraih syahadah di jalanMu ). Sebuah amalan dalam dakwah bagi setiap da’I yang dijadikan prinsip perjuangannya; sehingga yang ada dalam benak dan hatinya hanya “syahadah” dalam setiap aktifitas dakwahnya.
& Atsar.
Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal berkata: Saya tidak mengetahui suatu amal yang lebih utama –setelah ibadah-ibadah wajib- kecuali jihad, dan perang di laut lebih utama dari pada perang di darat”.
Anas bin Malik r.a: Suatu saat Rasululah SAW tertidur lalu bangun dan tertawa. Berkata Ummu Haram: apa yang membuat engkau tertawa wahai Rasulullah ? Rasulullah menjawab: Sekelompok umatku memperlihatkan kepadaku tatkala jihad di jalan Allah. Mereka menaiki kapal laut sebagaimana raja-raja di atas singgasananya” ( Bukhari Muslim )
Dipenghujung hadits ini Ummu Haram meminta kepada Nabi agar mendoakan kepada Allah supaya dirinya termasuk dalam rombongan itu. Rasululah pun mendoakannya. Pada saat pembebasan kota Cyprus, Ummu Haram ikut di armada laut kaum muslimin. Beliau meninggal dan dimakamkan di sana. Di sana kini ada sebuah mesjid dan makam yang dinisbatkan kepada Ummu Haram radhiyAllahu ‘anha.
Risalah Jihad 3.
MOTIVASI JIHAD & ADAB BERJIHAD
MENGAPA DAN BAGAIMANA MUSLIM BERJIHAD ?
Sebuah pertanyaan yang mengandung jawaban tuntas terhadap berbagai syubuhat tentang jihad dalam Islam.
Demikian luhurnya ajaran jihad dalam Islam, tetapi sebagian orang ada yang menganggap jihad sebuah perbuatan kejam tidak berprikemanusiaan. Ada juga orang yang melontarkan syubuhat, bahwa Islam tersebar dengan “Pedang”. Sayangnya, syubuhat seperti itu kita dengar dan dapati dari sebagian umat Islam sendiri.
Lontaran syubuhat tersebut karena ketidaktahuan mereka kepada esensi jihad dan motivasi jihad yang dilakukan orang mukminin. Imam Hasan al-Bana menegaskan dalam Risalah Jihad nya, bahwa jihad yang diwajibkan Allah bukanlah alat pemusnah orang kafir atau sarana bagi kepentingan pribadi, tetapi jihad disyariatkan sebagai perlindungan bagi dakwah Islam dan jaminan bagi perdamaian, selain sebagai media untuk menunaikan misi risalah) agung yang dipikulkan di pundak kaum muslimin, yakni misi hidayah bagi umat manusia untuk menegakkan kebenaran dan keadilan Islam. Islam selain mengajarkan perang, juga menyerukan perdamaian, firman Allah SWT: ( Dan jika mereka condong kepada perdamaian, berdamailah dan tawakkal kepada Allah -QS. Al-Anfal- Setiap muslim yang berangkat ke medan perang, yang ada dalam pikiran dan hatinya adalah ia berjuang agar Kalimat Allah ( al-Islam ) menjadi tinggi.
Setiap muslim yang berperang karena harta, kedudukan, pangkat, ketenaran namanya atau karena ingin disebut pahlawan dsb, maka perjuangan tersebut tidak dikatakan “fi sabilillah”.
Rasulullah SAW ditanya tentang orang yang berperang karena ingin disebut pemberani, orang yang berperang dalam rangka membela fanatisme dan orang yang berperang karena riya, manakah diantara mereka itu yang di sabilillah ? Rasulullah menjawab: Barangsiapa berperang agar kalimat Allah itu tinggi, maka dia fi sabilillah ( HR. Imam yang lima ).
Ketulusan niat dan kebersihan hati merupakan modal utama diterimanya setiap amalan, sekecil apapun karya seseorang, jika bermotivasi luhur, apapun bentuk aktifitas seseorang jika dilakukan ikhlas dan dalam ruang lingkup I’la’I Kalimatillah (meninggikan kalimat Allah), niscaya disebut aktifitas jihad fi sabilillah.
Karenanya, tidak benar, jika ada yang berkata, bahwa ajaran Jihad berarti membenarkan terorisme, tindakan anarkis dan bentuk-bentuk merusak lainnya. Hanya orang-orang yang bodoh terhadap ajaran jihad dalam Islam yang mengatakan atau berfikir demikian, atau hanya mereka yang tidak suka dan benci kepada Islam dan umatnya yang melontarkan pemikiran seperti itu.
Disamping keluhuran ajaran jihad itu sendiri, karena perintah jihad dari Yang Maha Adil dan Rahman Rahim kepada manusia dan seluruh alam semesta, jihad juga merupakan ajaran yang sarat dengan adab (tatacara) dan maksud serta tujuan yang bersih. Allah yang menciptakan manusia, Dia lah yang menciptakan Islam, Dia pula yang mensyariatkan jihad fi sabilillah.
Karenanya, jihad disyariatkan dalam rangka merealisasi makna dan nilai izzah ( harga diri ) bagi umat Islam dan bersumber pada izzah yang hanya dimiliki Allah SWT., sehingga mewujud kehidupan yang sejahtera di bawah naungan agamaNya.
Ada sebagian orang ingin mengalihkan perhatian orang untuk menjauhkan diri dari berjihad dalam arti berperang di jalan Allah, atau barang kali dalam rangka menyelamatkan diri dari cemoohan orang karena takut dikatakan “beringas”, “kejam” dsb, mereka melakukan hal seperti itu dengan mengangkat sebuah riwayat yang dianggap “hadits”, yakni “Kita pulang dari Jihad kecil menuju Jihad besar”, para shahabat bertanya: Apakah jihad besar itu ? Rasulullah menjawab: Jihad terhadap hati atau jihad melawan hawa nafsu”.
Riwayat tersebut bukanlah hadits, ia hanya sebuah ucapan seorang bernama Ibrahim bin Ablah sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tasdidul Qaus oleh Ibnu Hajar.
Al-Iraqi menjelaskan, bahwa perkataan tersebut diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang dhaif dari Jabir, dan diriwayatkan oleh Khatib dalam tarikhnya dari Jabir. Kalaupun riwayat itu shahih, maka tidak dibenarkan sama sekali dijadikan landasan memalingkan orang untuk berjihad, sebab riwayat tersebut dapat diartikan “kewajiban bagi setiap mukmin untuk memerangi hawa nafsunya dalam rangka membersihkan amalnya dari noda-noda syirik dan riya”.
Mis-interpretasi terhadap “atsar” tersebut dimanfaatkan musuh-musuh Islam untuk “memarginalkan” umat Islam dari kancah kehidupan global, yang sangat merugikan umat.
ADAB-ADAB BERJIHAD
Tidak dikenal dalam kamus Islam istilah “al-ghoyah tubarrir al-wasilah” (tujuan menghalalkan segala cara), istilah tersebut dijadikan prinsip oleh khususnya orang-orang komunis dalam menyebarkan idiologi mereka. Yang ada pada kamus Islam adalah “al-Ghoyah La Tubarriru al-Wasilah” (Tujuan tidak menghalalkan cara ), artinya tujuan yang baik dan benar harus dicapai dengan cara yang benar dan baik pula.
Jihad yang mulia dan agung, dilakukan dengan cara yang baik dan benar atau dibenarkan oleh syara’. Karenanya terdapat banyak adab berjihad dalam Islam , antara lain :
v Tidak melampaui batas ( Dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas –QS al-Maidah:87), artinya tidak diperkenankan dalam jihad melakukan penganiayaan, melukai kehormatan musuh, menyiksa tubuh musuh dsb.Rasulullah SAW bersabda: Jika salah seorang dari kalian berperang jauhilah wajah (HR Bukhari Muslim).
v Bersikap dan berlaku adil, meskipun kepada musuh ( Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. QS. Al-Maidah: 8 ). Maksudnya, seorang mukmin di dalam berjihad hendaknya tidak melakukan perbuatan-perbuatan aniaya, seperti merampok, menjarah, membunuh wanita dan anak-anak, merusak pepohonan, meracuni sungai atau danau. Rasulullah SAW melarang umatnya merampas dan menyiksa (HR Bukhari).
v Bersikap santun dan moralis. Dari Buraidah r.a berkata, Rasulullah SAW jika memerintahkan panglima pasukan perang, ia berwasiat kepadanya secara khusus tentang takwa kepada Allah, dan kepada orang-orang yang bersamanya tentang kebaikan, kemudian bersabda: Berperanglah dengan nama Allah di jalan Allah, perangilah orang kafir kepada Allah, perangilah jangan melampaui batas, jangan berkhianat, jangan menyiksa, dan jangan membunuh anak-anak” (HR Muslim).
v Motivasi Menyebarkan Kebaikan Bagi Umat Manusia. Setiap muslim yang berjihad hendaknya menanamkan motivasi kebaikan dan keselamatan hidup bagi sekalian manusia. Rasulullah SAW bersabda: “Semua manusia di atas muka bumi ini ( baik di kampung atau di kota ) lebih aku cintai saat mereka datang kepadaku dalam keadaan Islam, dari pada kalian mendatangkan wanita dan anak-anak sebagai tawanan, sedangkan kaum lelaki mereka terbunuh ( dalam peperangan ).
Adab berjihad juga kita dapati dari pesan-pesan monumental Imam al-Bana dalam Muktamar V Ikhwan Muslimun tentang penggunaan kekuatan (kekerasan) : “Kekuatan (kekerasan) bukan terapi pertama, tetapi terapi terakhir. Selain itu, setiap mukmin hendaknya menimbang maslahat dan madharat penggunaan kekerasan sesuai situasi dan kondisi Jama’ah tidak bersikap keras kecuali terpaksa, digunakan kekerasan karena tidak ada jalan lain, mengacu pada bekal keimanan dan nilai kesatuan. Dengan berhati-hati dalam menggunakan kekuatan (kekerasan) jama’ah justru menjadi mulia, memberikan peringatan terlebih dahulu dan menanti hasil peringatan itu. Kemudian bersabar menunggu hasil dengan berbaik sangka dan yakin akan pertolongan Allah SWT”.
Demikian luhur dan mulia adab jihad dalam Islam, karena memang Islam disebarkan dalam rangka wujudnya kasih sayang untuk alam semesta (rahmatan lil ‘alamin), untuk kesejahteraan umat manusia dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. WAllahu a’lam