SERI TAUJIHAT RI’AYAH MA’NAWIYAH ‘AM
INTIKHABAT 2014
TAUJIHAT
PEKANAN
Ma’iyatullah dan Optimisme Kader Da’wah
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله، الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول
الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه ووالاه، أما بعد
Dengan asma Allah SWT semua alam
ini diciptakan. Dengan asma-Nya kita selaku manusia mengetahui sesuatu serta
dapat membaca dan menulis, lalu kepada-Nya kita akan kembali. Bagi manusia yang
dikaruniai Allah SWT kesadaran, proses itu tidak boleh hanya terjadi secara
fisik dan alami belaka. Apalagi bagi kita yang telah dikaruniai keimanan.
Dengan penuh kesadaran imani kita harus memulai setiap aktivitas dalam hidup
ini dengan asma Allah SWT, kita menjalani keseharian dengan syariah Allah SWT
dan mengarahkan keseluruhan hidup ini kepada husnul khatimah dan mardhatillah.
Bila suatu saat kita lupa
terhadap Allah SWT, menjalankan suatu kegiatan atau program dengan nama selain
Allah SWT, tidak memastikan bahwa apa yang kita kerjakan telah sesuai dengan syariat-Nya,
tidak menajamkan perspektif bahwa kerja kita insya Allah diridhai-Nya. Dalam
situasi demikian kita tidak lebih baik dari posisi seorang anak yang melupakan
orang tuanya. Atau, seorang mandataris suatu Negara yang lupa terhadap
rakyatnya selaku pemberi mandat. Atau, sebuah benda yang jatuh lalu hancur
karena lepas dari porosnya.
Nisyanullah, yakni lupa
terhadap Allah mengakibatkan lupa diri. Lupa bahwa dirinya adalah seorang
mukmin, seorang kader dakwah, bahkan seorang murabbi, lupa bahwa dirinya
adalah seorang suami dan seorang bapak dari sejumlah anak yang mendambakan
sentuhan kehalusan dan kasih sayang. Kemudian melakukan pelbagai penyimpangan
(kefasikan) yang berakhir dengan kerugian dan kehancuran.
Allah SWT mengingatkan agar
manusia jangan pernah sesaat pun lepas dari-Nya dan lupa terhadap-Nya karena
akibatnya akan fatal.
“Dan janganlah kamu sekalian
seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah sehingga karenanya mereka lupa
terhadap diri mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (Q.S
59/Al-Hasyr: 19).
Di saat manusia lupa diri akibat
lupa terhadap Allah tapi Allah tetap mengontrol dan menatapnya di manapun dan
kapan saja.
“Dan Dia tetap bersamamu
(mengawasimu) dimanapun kamu berada dan Allah Maha menatap apa yang kamu
kerjakan” (Q.S 57/Al Hadid: 4)
Ikhwah dan akhwat fillah,
Jika kita selalu bersama Allah
menghadirkan-Nya saat kita berpikir, berkarsa, dan berkarya, bahkan waktu kita
marah sekalipun. Maka Dia niscaya menyertai kita dengan bimbingan-Nya,
lindungan-Nya, pertolongan-Nya, rahmat-Nya, dan ampunan-Nya saat kita salah.
Ma’iyatullah telah
diberikan kepada Rasul-Nya SAW dalam situasi yang sulit. Tetapi bukan secara
gratis tanpa investasi ‘amal jihadi’. Adalah Siti Khadijah RA sebagai saksi
atas kepatutan ma’iyatullah untuk Rasul-Nya. Sebagaimana penuturannya,
“Demi Allah, Dia tidak akan
pernah menyia-nyiakan engkau. Sebab engkau gemar bersilaturahim, suka menolong
orang lemah, membela orang yang dizhalimi, menyantuni orang tak punya, serta
tampil membela kebenaran”.
Tidak ada imajinasi yang paling
baik dan indah daripada memikirkan ciptaan Allah SWT dan ayat-ayatnya. Tidak
ada kata yang lebih indah dari menyebut asma Allah SWT, laa ilaaha illallah,
subhanallah atau astaghfirullah. Tidak ada nama yang lebih baik dari
Abdullah. Tidak ada sumber kekuatan dan energi yang lebih dahsyat daripada laa
haula wala quwwata illa billah.
Ikhwah dan akhwat fillah,
Kesertaan (ma’iyyah) Allah SWT menuntut kita terlebih dulu memposisikan diri
secara tepat. Bukan semata-mata sebagai makhluk Allah SWT, tetapi sebagai hamba
bahkan junud (prajurit-Nya) yang bersiap dan sigap untuk melaksanakan setiap
perintah-Nya dalam kerangka mewujudkan Islam kaaffah dalam kehidupan pribadi, keluarga, kemasyarakatan,
kebangsaan dan antarbangsa.
Jika bukan sebagai prajurit Allah
SWT maka posisi manusia –disadari atau tidak- adalah sebagai prajurit iblis (junudu iblis). Kita harus memposisikan
diri sebagai prajurit Allah SWT di setiap lini kehidupan dan setiap jengkal
dari bumi Allah ini. Insya Allah Dia akan menyerahkannya kepada hamba-hamba-Nya
yang shalih sebagai bagian dari hasil perjuangan, melalui istikhlaf dan tamkin
sebagai mekanisme legal dalam agama Allah. Kita harus memastikan bahwa
komunitas kita adalah hizbullah. Sebab, hanya komunitas inilah yang
pantas diberikan kemenangan sejati oleh-Nya.
Al-Imam As-Syahid pernah
mengajukan suatu pertanyaan besar, “Apa modal kita untuk meraih kemenangan
agama ini? Jawabannya adalah modal dan bekal yang sama yang pernah dimiliki as-salafus
shalih di bawah pimpinan Muhammad SAW, Yaitu lima segi keimanan yang meliputi:
Pertama, kemenangan
itu akan diraih sebagai hadiah dari Allah SWT dengan all out membela agama-Nya.
Kedua, kemenangan itu dapat diraih melalui keampuhan minhaj
Islam yang kita anut.
Ketiga,
kemenangan itu dapat diraih dengan kekuatan ukhuwwah yang kita kuduskan.
Keempat,
kemenangan itu merupakan buah keyakinan kita akan besarnya imbalan serta pahala
perjuangan di jalan Allah. Kelima, keimanan bahwa kita telah memilih
jama’ah yang tepat sesuai kodratnya untuk menyelamatkan dunia.
Kita kokohkan keimanan tentang
kelima prinsip tersebut dengan kesabaran dalam berjama’ah yang berusaha
merealisasikan minhajun nubuwwah, jalan yang ditempuh Rasulullah SAW dan
sahabat beliau dalam kesolidan ukhuwah demi membela dienullah. Kita pun harus
berbuat yang ihsan dalam kerangka ‘amal jama’I, bukan asal berbuat
apalagi saling mengandalkan. Sesudah itu, kita bertawakkal kepada Allah SWT dan
menyerahkan kepadaNya untuk menentukan saat dan bentuk hasil perjuangan yang
akan dicapai/diberikan. Sebab, Allah SWT beserta orang-orang yang sabar. Dia
bersama orang-orang yang berbuat ihsan. Dan mencintai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.
Allahu Akbar, Allahu
Akbar walillahil hamd.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا
وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته