Perawakannya yang berbeda dengan tamu undangan yang lain, serta bau khas yang keluar dari rokoknya, membautnya menjadi pusat perhatian. "Apa itu yang anda hisap, tuan?" ujar salah seorang pria Eropa yang pertanyaannya sudah mewakili rasa penasaran sebagian besar tamu undangan.
‘’Ini, yang mulia, adalah alasan mengapa Barat ingin menguasai dunia," ujarnya. Padahal dia hanya sedang menghisap rokok kretek yang memang menghasilkan aroma khas pada asapnya. Aroma itu berasal dari cengkeh, rempah yang diburu oleh bangsa barat pada masa kolonial.
Siapakah sebenarnya orang itu? Ternyata dia adalah Haji Agus Salim. Seperti cerita yang dikutip dari New York Times , Agus Salim adalah duta besar Indonesia pertama untuk Britania Raya. Di Indonesia, dia dikenal dengan julukan Grand Old Man. Pria kecil itu adalah orang Indonesia pertama yang mengenyam pendidikan barat.
Padahal pada masa-masa kolonial atau sekitar tahun 1943, tidak lebih dari 3,5 persen penduduk Indonesia yang bisa baca tulis. Haji Agus Salim adalah sosok langka yang mampu membanggakan bangsa Indonesia di ranah internasional.
Lahir pada 8 Oktober 1884 di Kota Gadang, Sumatera Barat, Haji Agus Salim memiliki nama asli Musyudul Haq. Nama pemberian ayahnya itu memiliki arti 'pembela kebenaran'. Sebuah doa yang ingin dipanjatkan sang ayah agar anaknya mampu menjadi seperti namanya.
Nama tersebut kemudian berubah menjadi Agus Salim, karena ketika masih kecil, Musyudul yang tumbuh di kalangan keluarga terpandang di tanah Minang, selalu diasuh oleh pembantu yang keturuan Jawa. Dia lebih sering dipanggil 'den bagus'.. Oleh karena itulah, teman-temannya kemudian memendekan nama panggilan itu menjadi 'gus'. Sedangkan di sekolahnya dia lebih sering dipanggil 'Agus'.
Ayahnya yang seorang jaksa di pengadilan Riau, memungkinkan Agus Salim untuk bisa masuk di sekolah yang terbaik. Dia diterima di sekolah dasar Belanda ELS (Europeese Lager School). Lulus pada 1897, dia bertolak ke Batavia, yang saat ini menjadi Jakarta, untuk masuk ke Hogere Burger School (HBS), sekolah lanjutan yang sebenarnya diperuntukan untuk orang-orang Eropa di Indonesia. Pada masa itu, sangat jarang melihat anak pribumi masuk ke sekolah Eropa.
Pada umur 19, dia lulus dari HBS dengan nilai paling tinggi di tingkat nasional. Belum pernah ada yang mencapai nilainya ketika itu. Agus Salim muda sudah menjadi kebanggaan Indonesia melalui nilainya yang mengalahkan murid-murid Eropa.
Namun, karena kondisi keuangan, dia tidak mampu melanjutkan pendidikannya. Meskipun kemudian RA Kartini memberikan rekomendasi dan meminta pemerintah Belanda untuk memberikan beasiswa, Agus Salim justru menolaknya.
Dalam hatinya, dia ingin menjadi dokter di perguruan tinggi di Eropa, akan tetapi harga dirinya jauh lebih tinggi dari mimpinya. Dia menolak beasiswa itu karena pemerintah Belanda memberikannya atas dasar rekomendasi dari tokoh emansipasi wanita Indonesia tersebut, bukan karena menghargai pencapainnya. Hal ini menurutnya sama saja dengan diskriminasi.
Waktu berputar, hingga akhirnya pada umur 22 tahun, dia bekerja pada Konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi. Justru melalui pekerjaan itulah, dia menempa ilmu agamanya. Agus Salim banyak belajar tentang agama dari pamannya Syekh Ahmad Khatib yang sudah berada di Makkah sejak 1876.
Sang paman merupakan Imam dan guru terhormat di Universitas Harramain Massajidal. Syekh Ahmad Khatib adalah tiang tengah dari Mazhab Syafi'i dalam dunia Islam pada permulaan abad XIV. Ia juga dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Imam Masjidil Haram ini adalah ilmuwan yang menguasai ilmu fikih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).
Selama bekerja di konsulat itu, sejak tahun 1906 hingga 1911, Agus Salim menyerap begitu banyak pengetahuan Islam. Karena kepintarannya, dalam waktu singkat, ilmu-ilmu agama Islam itu masuk di kepalanya dan menjadi bagian dari tindak-tanduknya. Pada masa yang sama, dia juga belajar beragam bahasa, seperti Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, Turki, dan Jepang.
Pulang ke Indonesia, pada tahun 1915, pada masa kepemimpinan HOS Cokroaminoto, Haji Agus Salim masuk ke dalam Sarekat Islam. Dalam waktu singkat mereka berdua sudah menjadi kawan baik, dan mitra yang dapat saling bekerja sama dengan baik, demi masa depan masyarakat Indonesia. Melalui organisasi inilah, dia mengembangkan karier di bidang politik, agama, dan intelektual.
Haji Agus Salim juga dipercaya menggantikan Cokroaminoto untuk menjadi anggota Volkstraad pada 1922 sampai 1925. Selama menjadi bagian dari Volkstrad ini, ada cerita yang menjadi bagian tak terlupakan dalam sejarah kehidupan pahlawan nasional ini. Pernah suatu kali dia berpidato dalam bahasa Indonesa. Namun, ketua Volkstrad memerintahkannya untuk memakai bahasa Belanda.
“Saya memang pandai berpidato dalam bahasa Belanda, tapi menurut peraturan Dewan saya punya hak untuk mengeluarkan pendapat dalam bahasa Indonesia," jawab Haji Agus Salim. Lalu dia mulai berpidato dalam bahasa Indonesia yang saat itu dikenal juga sebagai Bahasa Melayu. Namun ketika dia mengucapkan kata 'ekonomi' seorang Belanda mengajukan pertanyaan.
“Apa kata ekonomi itu dalam bahasa Melayu?” ujar pria Belanda itu dengan maksud mengejek. “Coba tuan sebutkan dahulu apa kata ekonomi itu dalam bahasa Belanda, nanti saya sebutkan Indonesianya?” jawab Haji Agus Salim. Kaget, pria Belanda itu hanya bisa melongo saja. Karena kata ekonomi juga tidak ada padanannya dalam bahasa Belanda.
Haji Agus Salim memang tokoh pemberani yang pandai berargumentasi. Hal ini jugalah yang kemudian mengantarkannya sebagai Menteri Luar Negeri. Dia menempati posisi itu dalam beberapa kabinet, yaitu pada masa Sutan Syahrir, Amir Sjarifudin, dan Hatta.
Haji Agus Salim wafat pada 4 November 1954. Dia adalah pahlawan pertama yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Jasanya untuk bangsa dan agama tak akan pernah terlupakan